Friday 24 October 2014

Independensi dan Pemberitaan Pers Mahasiswa Pasca Orba Runtuh[1]

Oleh: Moch. Ari Nasichuddin[2]
            Sebelum berbicara peran pers mahasiswa sebagai pers alternatif dalam menyikapi runtuh independensi pers umum, maka baiknya menelaah dulu arti independen. Manakah yang dipilih, independen atau netral? Independen ialah bebas dari pengaruh, sehingga jurnalis bisa menentukan pilihan kesadarannya sendiri. Ia punya kebebasan. Ia independen dalam memilih. Jurnalis independen terhadap sumber liputannya, sehingga ia tidak terpengaruh. Ia menentukan sendiri. Ia harus menentukan sikapnya dengan jelas. Inilah yang harus dipegang erat oleh jurnalis.[3]
            Lantas bagaimana dengan netral? Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Imparsialitas (tidak berpihak) juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.       Tapi Kovach dan Rosenstial mengatakan jurnalis mesti keberpihakan. Berpihak kepada siapa? Yaitu berpihak kepada kebenaran. Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional. [4]
Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi. Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.[5]
Persma dan Independensi
Berbicara tentang persma ada yang menarik untuk kita cermati terkait orientasi gerakan pers mahasiswa. Pertama, sebagai media, pers mahasiswa terkendala dampak kondisi politik Indonesia. Setelah tumbangnya rezim ototarian, kebebasan pers tanpa batas. Pers umum yang semula tidak berani memberitakan hal-hal yang sensitif di masa pemerintahan orde baru kini jauh lebih berani. Dalam kondisi demikian, posisi dan orientasi pers mahasiswa sebagai media alternatif perlu dievaluasi. Pengertian alternatif dalam konteks ini adalah untuk menunjuk pada sikap keberanian pers mahasiswa dalam memberitakan berita-berita yang tidak diangkat media umum kala itu. Lantas apalagi yang dikatakan alternatif sekarang? Pertanyaan yang muncul masa itu. Jangankan membuat berita kasus atau investigasi, menerbitkan media sendiri saja berkala: kala-kala terbit, kala-kala tidak. Banyak faktor yang menyebabkannya, mulai dari SDM sampai pendanaan. Kedua, sebagai bagian dari gerakan mahasiswa, pers mahasiswa tak luput dari dampak polarisasi dan segmentasi organisasi gerakan mahasiswa. Hubungan antara organisasi gerakan mahasiswa tidak lagi harmonis seperti sebelum 1998. Karena selain musuh bersama gerakan mahasiswa sudah tidak ada lagi dan menyebarkan wacana kekuasaan di daerah-daerah, banyaknya kepentingan sulit untuk dicari jalan tengahnya.[6]
Imbas dari tidak adanya musuh bersama ini orientasi gerakan mahasiswa menjadi kembali ke kampus. Hal ini tidak hanya menceraikan mahasiswa dengan rakyat, tapi juga mengadu domba sesama gerakan mahasiswa bahkan dengan gerakan pers mahasiswa. Pers mahasiswa yang cenderung mengkritisi birokrat kampus (BEM atau Senat) tak jarang menjadi sasaran kritik dari aktivis gerakan mahasiswa. Persoalan lain yang muncul akibat perseteruan ini yakni pemahaman “kuasa lahan”, rebutan dominasi di dalam kampus. Hal yang sebelumnya tidak terjadi membuat gerakan mahasiswa sibuk sendiri di dalam kampus dan terlena, lupa dengan tujuan sebagai gerakan. Terlalu menikmati kekuasaan yang kecil di kampus, menjadi penguasa kampus. Inginnya seluruh kampus dikuasai. Sehingga tidak heran terjadnya krisis eksistensi. Gerakan berebut mengisi ruang-ruang publik lewat media mahasiswa adalah salah satunya. Pada titik ini, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) sering dijadikan sasaran perebutan hasrat perebutan kekuasaan.[7]
            Imbas dari dari runtuhnya Soeharto ternyata menimbulkan imbas yang tidak main-main. Orientasi pers mahasiswa yang dulu titik alternatifnya melalui isu kini tolak ukurnya adalah independensi. Namun, apakah memang pers mahasiswa bisa menjadi independen? Selang orde baru runtuh ternyata banyak aktivis gerakan mahasiswa yang “menguasai” LPM. LPM akhirnya mati  tidak ada regenerasi setelah “dikuasai” gerakan mahasiswa ekstra. Sebab LPM yang sudah dikuasai diposisikan sebagai penyokong nalar kekuasaan mereka di kampus, bukan sebagai gerakan. Imbas kasus semacam ini organisasi ekstra dijauhi pers mahasiswa.
            Bahkan ada kabar yang menyatakan sebuah LPM karena ditunggangi organ ekstra tertentu pemberitaan mereka menjadi berat sebelah. Menjadi bertendensi dan terkesan sangat “menembak” organ ekstra lainnya. Kalau sudah seperti ini kondisinya alih-alih untuk menjadi alternatif, rasa independensi yang notabene mesti dimiliki sebuah media pun tidak dimiliki.
            Artinya apa, persoalan independensi ternyata juga tidak hanya milik media mainstream saja, tapi sekelas persma pun juga tak luput dari itu. Oleh karena itu, jika pers mahasiswa ingin menjadi pers alternatif maka tantangan yang mesti dihadapi adalah menyinergikan SDM yang ada dalam tubuh persma tersebut. Sejak sebelum orde baru runtuh persma telah menjelma menjadi rumah dari segala mahasiswa gerakan. Di dalam persma, terdapat bermacam-macam mahasiswa dari organ ekstra tertentu. Tapi ini tidaklah menjadi masalah ketika itu. Karena mahasiswa masih memiliki tujuan bersama: mengkritisi rezim represif bernama orde baru. Nah sekarang, apakah seperti itu tidak mungkin? Mungkin sekali. Persma tetap bisa menjadi rumah dari berbagai golongan. Gerakan mahasiswa (baik persma dan organ ekstra) pasca reformasi harus tetap berorientasi pada perjuangan rakyat. Selalu kritis kepada pemerintahan juga tidak lupa melakukan pendidikan kepada masyarakat dan mahasiswa. Visi itu lah yang mestinya dicanangkan. Dengan ini baik itu mahasiswa ekstra maupun persma tetapi bersinergi untuk melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Alternatif dalam Pemberitaan
            Keruntuhan orba juga mempengaruhi angel pemberitaan persma. Jika kala itu kebanyakan pemberitaan persma sangat kritis terhadap pemerintah terpusat karena seiring pers umum yang tidak terlalu berani. Kini banyak persma yang mengubah lingkup pemberitaannya pada skala daerah -baik itu provinsi maupun kab/kota. Perubahan angel ini seiring dengan adanya kesadaran dari insan persma bahwa pers umum sekarang lebih bebas setelah masuk masa reformasi. Selain itu, adanya politik otonomi daerah juga bisa saja menjadi faktor berubahnya lingkup pemberitaan persma. Adanya otonomi daerah menyebabkan pusat tidak selamanya punya kekuasaan penuh terkait kebijakan. Daerah sekarang diberikan otoritas dalam mengeluarkan policy sesuai kebutuhan daerah tesebut.
            Sayang, lahirnya otonomi daerah ikut melahirkan banyak mufsidun (koruptor-korupto kekuasaan). Jika beberapa tahun lalu korupsi hampir seluruhnya terjadi dipusat, pasca otonomi, korupsi ikut tumbuh subuh di daerah. Apa lacur? Ternyata biaya tinggi pemilhan kepala daerah merupakan penyebab maraknya korupsi di daerah. Ketika mengikuti pemilihan kepala daerah, banyak calon disokong pengusaha yang ingin mendapat akses kemudahan bisnis. Uang dari pengusaha dipakai untuk beli “tiket” partai pengusungnya. Mesin politik partai efektif mengerahkan massa yang penting dibayar sang kandidat.[8]
Contoh permasalahan imbas otonomi daerah di atas mengharuskan persma jangan sampai luput mengawasi kondisi di daerah. Karena tak jarang, selain masalah korupsi, masih ada isu lain yang perlu diadvokasi seperti HAM, lingkungan, pendidikan, dan masih banyak lagi. Perihal pengangkatan isu ini bisa jadi hal alternatif yang nantinya akan diseriusi persma. Ketika pers umum terlalu “sibuk” memberitakan isu mainstream atau mungkin isu  yang berbau tendensi, persma hadir menawarkan isu alternatif yang menurut pers umum kebanyakan tidak lah menarik.



[1] Makalah Diskusi HMI MPO Korkom UII, Pelataran Gd. Kahar Muzakir, Oktober 2014.
[2] Pemimpin Umum LPM HIMMAH UII dan Mahasiswa Teknik Informatika 2010
[3] Makalah Diklat Dasar LPM KOGNISIA FPSB UII oleh A. Pambudi W. Pemimpin Umum LPM HIMMAH UII Periode 2007-2009
[4] Andreas Harsono, “Sembilan Elemen Jurnalisme: Sebuah buku yang sebaiknya dibaca orang yang tertarik pada jurnalisme.” diakses dari http://www.andreasharsono.net/2001/12/sembilan-elemen-jurnalisme.html, pada tanggal 24 Oktober 2014 pukul 15.30
[5] Andreas Harsono, lot. cit.
[6] Moh. Fathoni, DKK, Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, Komodo Books, Depok, 2012, hlm. 132-133.
[7] Ibid., hal 134-135.
[8] Dwi Kartika Sari, “Mufsidun”, HIMMAH, No. 01/Thn. XLV/2012, hlm. 7.