Oleh:
Moch. Ari Nasichuddin[2]
Sebelum berbicara peran pers
mahasiswa sebagai pers alternatif dalam menyikapi runtuh independensi pers
umum, maka baiknya menelaah dulu arti independen. Manakah yang dipilih,
independen atau netral? Independen ialah bebas dari pengaruh, sehingga jurnalis bisa
menentukan pilihan kesadarannya sendiri. Ia punya kebebasan. Ia independen
dalam memilih. Jurnalis independen terhadap sumber liputannya, sehingga ia
tidak terpengaruh. Ia menentukan sendiri. Ia harus menentukan sikapnya dengan
jelas. Inilah yang harus dipegang erat oleh jurnalis.[3]
Lantas bagaimana dengan netral? Menjadi netral bukanlah prinsip
dasar jurnalisme. Imparsialitas
(tidak berpihak) juga
bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap
independen terhadap orang-orang yang mereka liput.
Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap
independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini
juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap
melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi
berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan. Tapi Kovach dan Rosenstial mengatakan
jurnalis mesti keberpihakan. Berpihak kepada siapa? Yaitu berpihak kepada
kebenaran. Kovach dan
Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna
mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap
tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga
berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan
hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada
anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional.
[4]
Namun apa yang dianggap kebenaran ini
senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti
salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah.
Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi. Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan
kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional.
Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang
butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola
dan sebagainya.[5]
Persma
dan Independensi
Berbicara
tentang persma ada yang menarik untuk kita cermati terkait orientasi gerakan pers
mahasiswa. Pertama, sebagai media, pers mahasiswa terkendala dampak kondisi
politik Indonesia. Setelah tumbangnya rezim ototarian, kebebasan pers tanpa
batas. Pers umum yang semula tidak berani memberitakan hal-hal yang sensitif di
masa pemerintahan orde baru kini jauh lebih berani. Dalam kondisi demikian,
posisi dan orientasi pers mahasiswa sebagai media alternatif perlu dievaluasi.
Pengertian alternatif dalam konteks ini adalah untuk menunjuk pada sikap
keberanian pers mahasiswa dalam memberitakan berita-berita yang tidak diangkat
media umum kala itu. Lantas apalagi yang dikatakan alternatif sekarang?
Pertanyaan yang muncul masa itu. Jangankan membuat berita kasus atau
investigasi, menerbitkan media sendiri saja berkala: kala-kala terbit,
kala-kala tidak. Banyak faktor yang menyebabkannya, mulai dari SDM sampai pendanaan.
Kedua, sebagai bagian dari gerakan mahasiswa, pers mahasiswa tak luput dari
dampak polarisasi dan segmentasi organisasi gerakan mahasiswa. Hubungan antara
organisasi gerakan mahasiswa tidak lagi harmonis seperti sebelum 1998. Karena
selain musuh bersama gerakan mahasiswa sudah tidak ada lagi dan menyebarkan
wacana kekuasaan di daerah-daerah, banyaknya kepentingan sulit untuk dicari
jalan tengahnya.[6]
Imbas
dari tidak adanya musuh bersama ini orientasi gerakan mahasiswa menjadi kembali
ke kampus. Hal ini tidak hanya menceraikan mahasiswa dengan rakyat, tapi juga
mengadu domba sesama gerakan mahasiswa bahkan dengan gerakan pers mahasiswa.
Pers mahasiswa yang cenderung mengkritisi birokrat kampus (BEM atau Senat) tak
jarang menjadi sasaran kritik dari aktivis gerakan mahasiswa. Persoalan lain
yang muncul akibat perseteruan ini yakni pemahaman “kuasa lahan”, rebutan
dominasi di dalam kampus. Hal yang sebelumnya tidak terjadi membuat gerakan
mahasiswa sibuk sendiri di dalam kampus dan terlena, lupa dengan tujuan sebagai
gerakan. Terlalu menikmati kekuasaan yang kecil di kampus, menjadi penguasa
kampus. Inginnya seluruh kampus dikuasai. Sehingga tidak heran terjadnya krisis
eksistensi. Gerakan berebut mengisi ruang-ruang publik lewat media mahasiswa
adalah salah satunya. Pada titik ini, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) sering
dijadikan sasaran perebutan hasrat perebutan kekuasaan.[7]
Imbas dari dari runtuhnya Soeharto
ternyata menimbulkan imbas yang tidak main-main. Orientasi pers mahasiswa yang
dulu titik alternatifnya melalui isu kini tolak ukurnya adalah independensi.
Namun, apakah memang pers mahasiswa bisa menjadi independen? Selang orde baru
runtuh ternyata banyak aktivis gerakan mahasiswa yang “menguasai” LPM. LPM
akhirnya mati tidak ada regenerasi
setelah “dikuasai” gerakan mahasiswa ekstra. Sebab LPM yang sudah dikuasai
diposisikan sebagai penyokong nalar kekuasaan mereka di kampus, bukan sebagai
gerakan. Imbas kasus semacam ini organisasi ekstra dijauhi pers mahasiswa.
Bahkan ada kabar yang menyatakan sebuah
LPM karena ditunggangi organ ekstra tertentu pemberitaan mereka menjadi berat
sebelah. Menjadi bertendensi dan terkesan sangat “menembak” organ ekstra
lainnya. Kalau sudah seperti ini kondisinya alih-alih untuk menjadi alternatif,
rasa independensi yang notabene mesti dimiliki sebuah media pun tidak dimiliki.
Artinya apa, persoalan independensi
ternyata juga tidak hanya milik media mainstream
saja, tapi sekelas persma pun juga tak luput dari itu. Oleh karena itu, jika
pers mahasiswa ingin menjadi pers alternatif maka tantangan yang mesti dihadapi
adalah menyinergikan SDM yang ada dalam tubuh persma tersebut. Sejak sebelum
orde baru runtuh persma telah menjelma menjadi rumah dari segala mahasiswa
gerakan. Di dalam persma, terdapat bermacam-macam mahasiswa dari organ ekstra
tertentu. Tapi ini tidaklah menjadi masalah ketika itu. Karena mahasiswa masih
memiliki tujuan bersama: mengkritisi rezim represif bernama orde baru. Nah
sekarang, apakah seperti itu tidak mungkin? Mungkin sekali. Persma tetap bisa
menjadi rumah dari berbagai golongan. Gerakan mahasiswa (baik persma dan organ
ekstra) pasca reformasi harus tetap berorientasi pada perjuangan rakyat. Selalu
kritis kepada pemerintahan juga tidak lupa melakukan pendidikan kepada
masyarakat dan mahasiswa. Visi itu lah yang mestinya dicanangkan. Dengan ini
baik itu mahasiswa ekstra maupun persma tetapi bersinergi untuk melakukan
perlawanan terhadap ketidakadilan.
Alternatif
dalam Pemberitaan
Keruntuhan orba juga mempengaruhi angel pemberitaan persma. Jika kala itu
kebanyakan pemberitaan persma sangat kritis terhadap pemerintah terpusat karena
seiring pers umum yang tidak terlalu berani. Kini banyak persma yang mengubah
lingkup pemberitaannya pada skala daerah -baik itu provinsi maupun kab/kota.
Perubahan angel ini seiring dengan
adanya kesadaran dari insan persma bahwa pers umum sekarang lebih bebas setelah
masuk masa reformasi. Selain itu, adanya politik otonomi daerah juga bisa saja
menjadi faktor berubahnya lingkup pemberitaan persma. Adanya otonomi daerah
menyebabkan pusat tidak selamanya punya kekuasaan penuh terkait kebijakan. Daerah
sekarang diberikan otoritas dalam mengeluarkan policy sesuai kebutuhan daerah tesebut.
Sayang, lahirnya otonomi daerah ikut
melahirkan banyak mufsidun (koruptor-korupto
kekuasaan). Jika beberapa tahun lalu korupsi hampir seluruhnya terjadi dipusat,
pasca otonomi, korupsi ikut tumbuh subuh di daerah. Apa lacur? Ternyata biaya
tinggi pemilhan kepala daerah merupakan penyebab maraknya korupsi di daerah.
Ketika mengikuti pemilihan kepala daerah, banyak calon disokong pengusaha yang
ingin mendapat akses kemudahan bisnis. Uang dari pengusaha dipakai untuk beli
“tiket” partai pengusungnya. Mesin politik partai efektif mengerahkan massa
yang penting dibayar sang kandidat.[8]
Contoh
permasalahan imbas otonomi daerah di atas mengharuskan persma jangan sampai
luput mengawasi kondisi di daerah. Karena tak jarang, selain masalah korupsi,
masih ada isu lain yang perlu diadvokasi seperti HAM, lingkungan, pendidikan,
dan masih banyak lagi. Perihal pengangkatan isu ini bisa jadi hal alternatif
yang nantinya akan diseriusi persma. Ketika pers umum terlalu “sibuk”
memberitakan isu mainstream atau
mungkin isu yang berbau tendensi, persma
hadir menawarkan isu alternatif yang menurut pers umum kebanyakan tidak lah
menarik.
[1] Makalah Diskusi
HMI MPO Korkom UII, Pelataran Gd. Kahar Muzakir, Oktober 2014.
[2] Pemimpin Umum
LPM HIMMAH UII dan Mahasiswa Teknik Informatika 2010
[3] Makalah Diklat Dasar LPM
KOGNISIA FPSB UII oleh A. Pambudi W. Pemimpin Umum LPM HIMMAH UII Periode 2007-2009
[4] Andreas Harsono, “Sembilan
Elemen Jurnalisme: Sebuah buku yang sebaiknya dibaca orang yang tertarik
pada jurnalisme.” diakses dari http://www.andreasharsono.net/2001/12/sembilan-elemen-jurnalisme.html, pada tanggal 24 Oktober 2014 pukul 15.30
[5] Andreas Harsono,
lot. cit.
[6] Moh.
Fathoni, DKK, Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, Komodo Books,
Depok, 2012, hlm. 132-133.
[7] Ibid.,
hal 134-135.
[8] Dwi
Kartika Sari, “Mufsidun”, HIMMAH, No.
01/Thn. XLV/2012, hlm. 7.