Monday 13 April 2015

Aksi Solidaritas untuk Rembang dan Urutsewu dari Purwokerto

No Name No Flag mengadakan gowes sepeda dan aksi solidaritas untuk Rembang dan Urut Sewu di pinggir alun-alun Purwokerto Minggu (12/4). Konflik yang terjadi di Rembang dan Urut Sewu menunjukkan masih banyak oknum yang melakukan eksploitasi terhadap bumi. 

            Aksi solidaritas untuk Rembang dan Urutsewu juga hadir di Purwokerto. Adalah No Name No Flag yang Minggu (12/04) pagi mengadakan aksi damai di alun-alun Purwokerto. Aksi ini sebelumnya diawali dengan kegiatan mengayuh sepeda dari patung Jendral Sudirman Unsoed hingga alun-alun. Sesampainya di alun-alun dilanjurkan dengan berorasi berisi ajakan kepada penguna jalan.
            Dalam selebaran aksinya dikatakan bahwa aksi tersebut ada dalam rangka menyambut Hari Bumi yang jatuh pada 22 April nanti. Sedikit merefleksikan Hari Bumi, mereka menilai masih saja eksploitasi terjadi di bumi, contohnya di Rembang dan Kebumen.
            Di Rembang contohnya, dalam selebarannya mereka memaparkan pegunungan kendeng yang merupakan wilayah karst sebentar lagi akan diubah menjadi pabrik semen. Padahal pegunungan kendeng mempunyai fungsi melakukan penyimpanan air yang nantinya digunakan untuk pengairan sawah di sekitar kendeng. Bila seluruh pegunungan kendeng dirubah menjadi pabrik semen dikhawatirkan desa-desa sekitar akan kehilangan pasokan air bersih.
            Tidak hanya di Rembang, di Urutsewu Kab. Kebumen terjadi konflik lahan antara warga dan TNI. Lahan di sana banyak diklaim oleh TNI dan beberapa kelompok untuk dijadikan lahan bisnis. Kondisi ini terbukti dengan adanya izin penambangan pasir besi kepada PT. MNC dan pungutan terhadap petani di kawasan pesisir urutsewu.
            No Name No Flag sendiri perkumpulan yang dibentuk dengan tujuan menghilangkan sentimen organ, itu lah kenapa diberi No Name No Flag yang mempunyai arti Tanpa Nama dan Tanpa Bendera. Mohommad Setiawan, salah satu anggota perkumpulan ini mengatakan sebenarnya banyak komunitas yang gabung jika ada suatu aliansi di Purwokerto, hanya saja karena ada sentimen bendera menjadikan ada rasa canggung untuk ikut. Sebelumnya No Name No Flag juga turut serta dalam aksi tentang isu pilkada. “No Name No Flage sendiri lebih cair dan merangkul semuanya. Ini dibuktikan waktu aksi pilkada berbagai komunitas seni ikut terjun bergabung dalam aksi tersebut. Dan perlu di garis bawahi kita tidak hanya konsen pada isu pilkada saja, harapanya dapat menanggapi berbagai permasalahan salah satunya tentang Rembang dan Urutsewu,” tutur Wawan, panggilannya.  
Selain aksi untuk isu pilkada, mereka juga beberapa kali mebuat kegiatan seperti panggung budaya menyikapi permasalahan ekologi, gowes sepeda  dan demo untuk solidaritas Rembang. Rencananya pada tanggal 16 mereka mau turut serta di urut sewu untuk memperingati 12 petani yang ditembak TNI. Dan ketika sidang putusan petani Rembang di PTUN Semarang beberapa dari anggota mereka rencana akan datang kesana. “Kalau kegiatan untuk Hari Bumi selanjutnya akan dilanjut karnaval dengan mengkampanyekan hari bumi dengan tema agraria, serta ada panggung seni buat kumpulnya komunitas yang diisi musik, pemutaran film, diskusi dan stand-stand komunitas,” tukas Wawan.



Thursday 2 April 2015

Pentas ‘Seminar Jalanan’ Ditengah Aksi Rektorat UGM

Massa aksi melingkar guna mementaskan "Seminar Jalanan".

Nur Sulistyo, Kepala Bidang Keamanan menghimbau agar massa aksi jangan terlalu dekat dengan rektorat.

Tuntutan dari massa aksi.

"..aksi ini selesai adalah sebuah kedewasaan kawan!" pekik Owi.

Hendra membacakan puisi ditengah "Seminar Jalanan".

        Ditengah demonstrasi yang diadakan pada Kamis (2/4) pagi, Aliansi Mahasiswa Jogja Peduli Rembang (AMJ-PR) membuat “Seminar Jalanan” tepat di depan rektorat UGM. Sebelum kegiatan itu berlangsung, massa AMJ-PR mendapatkan halangan dari petugas keamanan UGM. Tepatnya ketika massa aksi ingin mendekat ke pintu masuk rektorat UGM, pihak keamanan yang diwakili oleh Nur Sulistyo selaku Kepala Bidang Keamanan mengatakan massa aksi tidak boleh terlalu masuk pintu rektorat. Larangan ini ada karena saat itu sedang berlangsung rapat koordinasi antara pimpinan di UGM dan pihak keamanan juga menilai demontrasi pada pagi itu belum mempunyai izin. Namun Angga Palsewa Putra sebagai salah satu massa aksi menunjukkan kepada seluruh anggota aliansi bahwa demonstrasi pagi itu sudah mempunyai surat izin dari kepolisian.

        Sempat terjadi adu mulut antara massa aksi dan pihak keamanan. Hazairin Rowiyan sebagai Koordinator Umum Aksi mencoba bernegosiasi dengan pihak keamanan. “Karena kita dari kalangan intelektual, mari lebih baik kita selesaikan secara intelektual,” tutur mahasiswa yang biasa dipanggil Owi ini. Nurhadi Raharjo sebagai Kepala Keamanan UGM pun balas mengatakan, “Caranya intelektual itu ya pakai seminar.” Sontak, massa aksi pun langsung membuat “Seminar Jalanan” sesuai penuturan Nurhadi.

        Jalannya “Seminar Jalanan” diiisi oleh penampilan dari massa aksi. Salah satunya Hendra Try Ardianto yang membaca puisi tentang negeri yang serba berbolak balik. “Di negeri bolak balik, membela rakyat adalah sesuatu yang aneh. Eksploitasi alam yang dilakukan oleh korporasi adalah wajar,” tukas Hendrawan ketika membacakan puisinya.

     Ada juga Yuli, salah satu massa aksi yang mengisi “Seminar Jalanan” dengan berorasi. Ia menceritakan sebagai orang yang di daerahnya telah berdiri pabrik semen, Yuli merasa tidak mendapatkan efek positif sama sekali. “Dulu ketika akan dibangun pabrik dikatakan akan mengambil tenaga kerja dari warga sekitar. Tetapi nyatanya malah tenaga kerja di pabrik itu berasal dari luar negeri. Saya pun akhirnya mesti menjadi TKI!” pekik wanita asal Banyumas ini. Ia juga menyerukan sudah sewajarnya masyarakat mendukung perlawanan yang dilakukan ibu-ibu Rembang agar kejadian yang ia rasakan tidak dialami mereka. “Jangan sampai ibu-ibu Rembang mau bertani tidak ada lahannya karena diubah menjadi pabrik semen,” seru Yuli lagi.


        Pagelaran “Seminar Jalanan” ini akhirnya berlangsung sampai akhir demonstrasi. Sempat massa aksi meminta pihak keamanan untuk tampil di seminar tersebut tetapi tidak digubris. Owi pun akhirnya menutup seminar dan demonstrasi seketika itu. Mahasiswa FH UII ini menegaskan bahwa demonstrasi siang itu bukan untuk mengancam pimpinan UGM, tetapi melainkan ingin mengajak UGM berjuang bersama masyarakat Rembang. Ia juga mengatakan kalau seluruh anggota aliansi adalah orang yang berintelektual karena telah melakukan seminar sesuai saran pihak keamanan tadi. “Aksi siang ini selesai bukan soal kalah-menang kawan-kawan, karena dalam aksi tidak ada yang kalah dan menang. Tetapi aksi ini selesai lebih soal kedewasaan karena kita memahami pihak rektorat UGM yang tidak mau ditemui,” seru Owi di akhir aksi.