Sunday 16 August 2015

Menuju Teknologi Kerakyatan


Benak saya ingin menulis judul di atas didasari pertanyaan liar yang mengiang dalam kepala saya, bisa tidak teknologi itu berpihak kepada masyarakat? Atau kalau dihubungkan dengan fokus studi saya, bisa tidak Informatika itu berpihak kepada masyarakat?

Mari kita uraikan satu-satu. Pertanyaannya kenapa harus berpihak kepada masyarakat? Masyarakat siapa yang dimaksud dalam hal ini?

Istilah teknologi dalam benak penulis ada kecenderungan hanya dinikmati oleh sebuah masyarakat menengah atas, khususnya masyarakat kota. Ini kita bisa lihat taruhlah kalau kita bicara masalah teknologi gadget. Teknologi macam ini akan sulit dinikmati sekelompok masyarakat pedesaan, pinggiran yang lebih jauh lokasinya dengan kota karena di sana susah apa yang dinamakan sinyal. Bahkan pada kasus tertentu itu tidak ada listrik. Nah!

Kondisi demikian menurut penulis aneh, sebenarnya kenapa sinyal itu hanya banyak bisa dinikmati oleh masyarakat kota? Masalah cost kah? Mengapa para ilmuwan teknologi ini tidak mengembangkan teknologi sinyal handphone yang bisa dinikmati seluruh pelosok Indonesia? Pertanyaan terakhir ini lah menurut penulis adalah suatu aktivitas keilmuan khususnya teknologi yang berpihak kepada masyarakat. Sama halnya jika berbicara topik kesehatan dalam hal ini khususnya isu rokok. Terlepas kontroversinya rokok itu menyumbang kematian atau tidak, kalau memang rokok itu dinilai merusak kesehatan kenapa tidak membuat terobosan rokok yang sehat? Terasa mengada-ngada? Ya, itulah ilmu pengetahuan. Terkadang mesti menjawab hal yang dirasa gila.

Dalam bukunya Manifesto Wacana Kiri, Nur Sayyid menuliskan bahwa teknologi menjadi faktor utama dalam terjadinya globalisasi. Dengan teknologi seolah tempat dengan jarak ribuan kilometer tidak ada artinya. Hal yang penting dari pemangkasan jarak ini adalah masalah informasi. Informasi menjadi sangat mudah diketahui meskipun itu terjadi dalam jarak yang dan meski terjadi hanya beberapa menit yang lalu. Teknologi yang dimaksud dalam hal ini komputer dan internet.

Lantas bagaimana jika ada tempat dimana teknologi belum ada? Seperti apa yang penulis uraikan di atas, apakah lokasi seperti itu belum diberi kesempatan menikmati informasi tanpa batas? Masih menurut buku yang sama globalisasi jika dimanfaatkan dengan baik mampu menghapus kesenjangan sosial dan taraf hidup pada suatu negara. Ini mengacu dari hasil penelitian pada tahun 1960-an Korea Selatan dan Ghana kala itu memiliki pendapatan per kapita yang sama, tapi karena Korea Selatan lebih mampu memanfaatkan globalisasi sekarang mereka lebih kaya 30 kali lipat dibandingkan dengan Ghana. Korea Selatan mampu memotong kesenjangan dengan negara-negara yang lebih maju sebelumnya.

Akan tetapi globalisasi akan menjadi negatif jika tidak didukung kemampuan yang seimbang dalam bersaing. Ini lah yang menjadi dasar kritik kebijakan macam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang seolah menghapuskan batas negara satu dengan yang lain. Tidak hanya informasi, dalam berlakunya MEA tenaga dari negara sebelah akan banyak berjamuran di negara kita. Bisa dikatakan bagi masyarakat desa yang belum diperdulikan akan semakin tertinggal.

Untuk membawa Ilmu tentang teknologi, khususnya informatika dalam berpihak kepada masyarakat pada dasarnya cenderung mudah. Tinggal siapa yang memakainya. Karena ilmu ini hanya ilmu alat yang kegunaannya untuk membantu manusia dalam menjalankan kehidupan. Diksi “membantu” penulis pakai karena tanpa teknologi sebenarnya manusia masih bisa berkehidupan. Berbeda jika berbicara pangan atau kesehatan yang menjadi syarat utama manusia untuk hidup. Salah satunya contohnya adanya telpon seluler sebagai alat bantu komunikasi. Bukankah tanpa handphone sebenarnya kita sudah bisa berkomunikasi? Meskipun memang komunikasi nantinya lama dalam prosesnya. Juga dengan teknologi transportasi, tanpa motor dan mobil pun kita bisa berhungan dengan orang lain hanya saja memang memakan waktu. Uraian di atas menunjukkan teknologi memberikan sumbangsih pada kehidupan manusia dan memberikan pengaruh positif. Adanya teknologi tidak mencabut hak-hak pada manusia.

Lantas apakah ada teknologi yang mencerabut hak-hak manusia?

Contohnya adalah alat-alat pada pabrik yang menggantikan ratusan atau ribuan buruh yang bekerja sana. Dari sudut pandang produksi memang bagus adanya teknologi semakin mengoptimalkan produksi, tapi di sisi lain teknologi ternyata juga menghilangkan mata pencarian dari buru-buruh itu. Maka muncullah pengangguran hingga kemiskinan karena lapangan pekerjaan sudah digantikan oleh mesin (baca: teknologi).
Teknologi dalam kegiatan sehari-hari pun punya potensi berpihak kekepentingan positif atau sebaliknya. Misalnya telpon pintar jika dipergunakan untuk mengorgasinir suatu gerakan maka akan punya kepentingan positif, tetapi sebaliknya jika gadget itu diperuntukkan untuk menindas rakyat akan mempunyai efek negatif. Jadi pada dasarnya meskipun teknologi lahir di zaman yang serba kapitalistik ini tetap mempunyai potensi keberpihakan pada dua sisi.

Untuk itu untuk mewujudkan teknologi kerakyatan perlu komunikasi dengan diskursus keilmuan lain. Dalam hal ini ekonomi, pendidikan, politik. Pertama soal ekonomi, bagaimana pasar mampu berjalan seimbang dan tidak menjauhkan harga produk teknologi jauh dari kemampuan masyarakat. Tentu harga yang terjangkau harus tidak merendahkan kualitas barang. Otomatis di sini kita harus melawan adagium jawa “ono rego ono rupo”-- ada harga ada barang. Praktek ekonomi kerakyatan berbasis koperasi yang menguntungkan rakyat atau anggotanya mesti dilakukan untuk mengatur pasar teknologi.

Yang kedua pendidikan, dalam hal ini penulis mencontohkan kampus. Kampus sebagai pusat berkembangnya teori dan diskursus pengetahuan mesti mengkaji terobosan teknologi yang mampu dijangkau masyarakat. Dalam kurikulum perkuliahan mesti dimasukan mata kuliah yang menghantarkan mahasiswa berpikir tindaklanjut dari ilmu pengetahuan yang mereka pelajari. Jadinya teknologi baru yang diciptakan mengacu ke masalah yang ada dalam masyarakat atau pada isu yang sedang dilawan masyarakat bukan mengacu pada kebutuhan pasar. Kampus pun dapat membuat sebuah pusat studi yang mengkaji korelasi antara problem masyarakat bawah dengan teknologi yang bisa diciptakan. Dari pusat studi itu nanti akan muncul suatu hasil penelitian yang mampu berpihak kepada masyarakat.

Dan yang terakhir politik. Jika kita bicara dalam lingkup kebijakan pemerintah tentunya kebijakan yang revolusioner dibutuhkan kemauan dalam hal politk yang mau mengakomodir hal itu. Otomatis jika praktek politik yang diterapkan masih mengacu kepentingan elit tanpa melibat kepentingan masyarakat sebagai subjeknya, kemunculkan kebijakan pemerintah yang ingin melahir teknologi mampu mengakomodir masyarakat terpinggirkan tidak akan tercapai. Untuk itu kesadaran akan politik, yakni pendidikan politik mesti dipahami oleh insan-insan pakar teknologi yang ada. Mahasiswa dan dosen berbasis keilmuan teknologi –seperti informatika, sipil, dll-- tidak boleh alergi terhadap politik. Politik di sini tentunya bukan politik yang konotasinya pemilu tapi politik dalam arti langkah ideologis/kepentingan yang melahirkan kebijakan.

Negeri ini pada akhirnya harus mampu berdaulat. Bukan hanya berdaulat atas alam, ekonomi, maupun politik. Tapi juga dalam hal teknologi. Di era sekarang negara yang tidak mau sadar bahkan menciptakan terobosan teknologi sendiri akan terjajah dan ketergantungan oleh asing.


 Sleman, 17 Agustus 2015. #MerdekaDenganTeknologi

Saturday 8 August 2015

Gerakan, Intelektual, dan Kehidupan


Berbicara tentang gerakan, perubahan sosial, bahkan revolusi merupakan hal yang menarik. Terkesan keren, dan mempunyai dampak sosial yang tinggi. Tapi bahkan ada yang sering dilupakan tentang apa yang menjadi syarat dari gerakan itu sendiri.

Baiklah mari kita bicara itu. Dalam setiap gerakan, serikat, organisasi pasti ada yang namanya visi dan misi. Kedua hal ini bisa kita namakan kepentingan, dan di balik kepentingan pasti ada yang namanya ideologi. Suatu pakem pemikiran perkumpulan tersebut dalam bergerak. Pertanyaannya apakah ada organisasi yang mempunyai visi dan misi tetapi tidak mempunyai ideologi? Bisa dijawab iya. Jika bagi mereka yang memahami suatu hal dikatakan ideologis jika mempunyai muatan kental akan ideologi kiri dan kanan. Namun menurut saya organisasi sesuai pertanyaan itu tetap saja berideologi. Ideologinya apa? Ya ideologinya tidak berideologi itu. Baik itu yang sifatnya urban atau hedon. Maka ada istilah urbanisme atau hodenisme. Isme di belakang punya arti paham. Jadi hedonisme bisa dimaknai dengan paham hedon atau ideologi hedon.

Saya menilai pada dasarnya organisasi adalah kebutuhan masyarakat. Dimana masyarakat merasa memang membutuhkan berserikat, berkumpul, bersatu untuk menjadi kuat. Kekuatan ini bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah atau bahkan merubah keadaan sosial. Jenis ideologi organisasi bisa dilihat dari masyarakat yang berkumpul membentuk organisasi tersebut. Jadi pada dasarnya berorganisasi bukan karena hanya mengisi waktu luang saja atau bahkan menambah CV. Organisasi adalah perwujudan dari keresahan yang ada dalam masyarakat.

Salah satu contohnya organisasi pada tingkat buruh. Sebagai contoh saya akan mencuplik dari buku John Ingleson berjudul Buruh, Serikat, dan Politik. Buku yang menceritakan geraka buruh pada medio 1920-1930an di Indonesia ini mengulas bagaimana kondisi gerakan buruh kala itu pasca pemberontakan PKI sekitar tahun 1917. Dimana efek dari pemberontakan pemerintah kolonial belanda menjadi semakin represif pada serikat, khususnya serikat yang bertujuan kemerdekaan Indonesia.

Pada tahun setelah 1920 gerakan buruh melakukan cara bagaimana menghidupkan kembali gerakan buruh sempat redup. Penghidupan ini seperti mengumpulkan potongan-potongan yang sudah tercerai berai karena memang sebelumnya kaum-kaum buruh sudah melakukan perkumpulan. Ini yang menarik, lantas bagaimana jika ingin membangun gerakan yang pada dasarnya belum ada gerakan sama sekali. Satu hal yang menurut saya perlu dilakukan adalah pendidikan politik. Ya, pendidikan, knp? Pendidikan sangat penting untuk menjadi alat masyarakat untuk memahami apa yang salah di sekitarnya. Pendidikan –mengutip Paulo Freire-- mesti berdasarkan pada penyelesaian masalah pada kondisi sekitar yang terjadi. Seperti kekeringan dan kasus eksploitasi. Pendidikan bukan berupa penjejalan ceramah dosen/guru terhadap. Freire menyebut ini sebagai pendidikan gaya bank. Dimana murid seolah menjadi buku tabungan untuk diisi ceramah guru. Jadinya murid akan bosen. Pendidikan gaya Freire ini menuntut siswa jangan dijadikan objek, tapi subjek.

Apakah pendidikan yang dimaksus di atas hanya dilakukan oleh pendidikan formal saja? Saya kira tidak. Apalagi jika ada yang menilai pendidikan formal sekarang cenderung kata Freire tadi, yakni mengamalkan pendidikan gaya bank, justru pendidikan non-formal harus menjadi alternatif anti-tesis tersebut. Taruhlah pendidikan non-formal macam ini seperti mengopi atau diskusi di warung kopi. Obrolan semacam ini saya perlu.

Usaha pendidikan politik selanjutnya adalah dengan media. Jika kontekskan kondisi sekarang media adalah alat efektif dalam melakukan hegemoni pada masyarakat. Menentukan publik opini dan mengarahkannya. Sayangnya media –mungkin sudah banya yang tahu-- sudah banyak dikuasai para pengusaha dan politisi. Imbasnya media tidak memberitakan sesuai hal ideal yang harus diketahui masyarakat tapi lebih ke kepentingan pengusaha dan politisi tersebut.


Mimpi dari pendidikan politik adalah tercipta tradisi intelektual yang kuat dalam tataran masyarakat. Sebut saja tradisi membaca. Angka sadar baca di masyarakat sangat berkaitan kualitas tindak tanduk masyarakat tersebut. Jika masyarakat masih mudah terprovokasi, gampang nurut jika ada politik praktis ini tandanya dia belum bisa menelaah dengan kemampuan intelektualnya. Karena memang dasarnya tradisi intelektual yakni membaca lemah. Kita contoh Jerman, dengan tradisi membaca yang kuat negeri ini dipandang sebagai “koordinator” Uni Eropa melalui kanselirnya Angela Merkel.


Kembali soal gerakan sosial. Gerakan sosial akan nihil tidak akan terjadi jika kondisi masyarakat masih kekurangan pendidikan politik yang mengarahkan perubahan revolusioner. Simpul pendidikan seperti kampus cenderung mengarahkan pendidikannya ke arah korporatif sebagai goal-nya. Pendidikan macam itu akan mempunyai peluang kecil dalam membentuk masyarakat yang kritis. Mudahnya adalah kehidupan itu bergerak, maka, akan menjadi keharusan jika kita selalu mengkritisi kehidupan dengan ilmu pengetahuan –yang sebagai kendaraan untuk hidup. Jika ilmu pengetahuan tidak mampu melakukan itu, akan ada pengaruh ke kehidupan kita yang tidak berkembang dan terbelakang.[]