Benak
saya ingin menulis judul di atas didasari pertanyaan liar yang
mengiang dalam kepala saya, bisa tidak teknologi itu berpihak kepada
masyarakat? Atau kalau dihubungkan dengan fokus studi saya, bisa
tidak Informatika itu berpihak kepada masyarakat?
Mari
kita uraikan satu-satu. Pertanyaannya kenapa harus berpihak kepada
masyarakat? Masyarakat siapa yang dimaksud dalam hal ini?
Istilah
teknologi dalam benak penulis ada kecenderungan hanya dinikmati oleh
sebuah masyarakat menengah atas, khususnya masyarakat kota. Ini kita
bisa lihat taruhlah kalau kita bicara masalah teknologi gadget.
Teknologi macam ini akan sulit
dinikmati sekelompok masyarakat pedesaan, pinggiran yang lebih jauh
lokasinya dengan kota karena di sana susah apa yang dinamakan sinyal.
Bahkan pada kasus tertentu itu tidak ada listrik. Nah!
Kondisi
demikian menurut penulis aneh, sebenarnya kenapa sinyal itu hanya
banyak bisa dinikmati oleh masyarakat kota? Masalah cost
kah? Mengapa para ilmuwan
teknologi ini tidak mengembangkan teknologi sinyal handphone
yang bisa dinikmati seluruh pelosok Indonesia? Pertanyaan terakhir
ini lah menurut penulis adalah suatu aktivitas keilmuan khususnya
teknologi yang berpihak kepada masyarakat. Sama
halnya jika berbicara topik kesehatan dalam hal ini khususnya isu
rokok. Terlepas kontroversinya rokok itu menyumbang kematian atau
tidak, kalau memang rokok itu dinilai merusak kesehatan kenapa tidak
membuat terobosan rokok yang sehat? Terasa mengada-ngada? Ya, itulah
ilmu pengetahuan. Terkadang mesti menjawab hal yang dirasa gila.
Dalam
bukunya Manifesto Wacana Kiri, Nur Sayyid menuliskan bahwa teknologi
menjadi faktor utama dalam terjadinya globalisasi. Dengan teknologi
seolah tempat dengan jarak ribuan kilometer tidak ada artinya. Hal
yang penting dari pemangkasan jarak ini adalah masalah informasi.
Informasi menjadi sangat mudah diketahui meskipun itu terjadi dalam
jarak yang dan meski terjadi hanya beberapa menit yang lalu.
Teknologi yang dimaksud dalam hal ini komputer dan internet.
Lantas
bagaimana jika ada tempat dimana teknologi belum ada? Seperti
apa yang penulis
uraikan di
atas, apakah lokasi seperti
itu belum diberi kesempatan
menikmati informasi tanpa batas? Masih
menurut buku yang sama globalisasi jika dimanfaatkan dengan baik
mampu menghapus kesenjangan sosial dan taraf hidup pada suatu negara.
Ini mengacu dari hasil
penelitian pada tahun 1960-an Korea Selatan dan Ghana kala itu
memiliki pendapatan per kapita yang sama, tapi karena Korea Selatan
lebih mampu memanfaatkan globalisasi sekarang mereka lebih kaya 30
kali lipat dibandingkan dengan Ghana. Korea Selatan mampu memotong
kesenjangan dengan negara-negara yang lebih maju sebelumnya.
Akan
tetapi globalisasi akan menjadi negatif jika tidak didukung kemampuan
yang seimbang dalam bersaing. Ini
lah yang menjadi dasar kritik kebijakan macam Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA) yang seolah menghapuskan batas negara satu dengan yang
lain. Tidak hanya informasi, dalam berlakunya MEA tenaga dari negara
sebelah akan banyak
berjamuran di negara kita. Bisa dikatakan bagi masyarakat desa yang
belum diperdulikan akan semakin tertinggal.
Untuk
membawa Ilmu tentang teknologi, khususnya informatika dalam berpihak
kepada masyarakat pada dasarnya cenderung mudah. Tinggal siapa yang
memakainya. Karena ilmu ini hanya ilmu alat yang kegunaannya untuk
membantu manusia dalam menjalankan kehidupan. Diksi “membantu”
penulis pakai karena tanpa teknologi sebenarnya manusia masih bisa
berkehidupan. Berbeda jika berbicara pangan atau kesehatan yang
menjadi syarat utama manusia untuk hidup. Salah satunya contohnya
adanya telpon seluler sebagai alat bantu komunikasi. Bukankah tanpa
handphone sebenarnya kita
sudah bisa berkomunikasi? Meskipun
memang komunikasi nantinya
lama dalam prosesnya. Juga dengan teknologi transportasi, tanpa motor
dan mobil pun kita bisa berhungan dengan orang lain hanya saja memang
memakan waktu. Uraian di atas menunjukkan teknologi memberikan
sumbangsih pada kehidupan manusia dan memberikan pengaruh positif.
Adanya teknologi tidak mencabut hak-hak pada manusia.
Lantas apakah ada teknologi yang mencerabut hak-hak manusia?
Contohnya
adalah alat-alat pada pabrik yang menggantikan ratusan atau ribuan
buruh yang bekerja sana. Dari sudut pandang produksi memang bagus
adanya teknologi semakin
mengoptimalkan produksi, tapi di sisi lain teknologi ternyata juga
menghilangkan mata pencarian dari buru-buruh itu. Maka muncullah
pengangguran hingga kemiskinan karena lapangan
pekerjaan sudah digantikan oleh mesin (baca: teknologi).
Teknologi
dalam kegiatan sehari-hari pun punya potensi berpihak kekepentingan
positif atau sebaliknya. Misalnya telpon
pintar jika dipergunakan untuk mengorgasinir suatu gerakan maka akan
punya kepentingan positif, tetapi sebaliknya jika gadget
itu diperuntukkan
untuk menindas rakyat akan mempunyai efek negatif. Jadi pada dasarnya
meskipun teknologi lahir di zaman yang serba kapitalistik ini tetap
mempunyai potensi keberpihakan pada dua sisi.
Untuk
itu untuk mewujudkan teknologi kerakyatan perlu komunikasi dengan
diskursus keilmuan lain. Dalam hal ini ekonomi, pendidikan, politik.
Pertama soal ekonomi, bagaimana pasar mampu berjalan seimbang dan
tidak menjauhkan harga produk teknologi jauh dari kemampuan
masyarakat. Tentu harga yang terjangkau harus tidak merendahkan
kualitas barang. Otomatis di sini kita harus melawan adagium jawa
“ono rego ono rupo”-- ada
harga ada barang. Praktek ekonomi kerakyatan berbasis koperasi yang
menguntungkan rakyat atau anggotanya mesti
dilakukan untuk mengatur pasar teknologi.
Yang kedua pendidikan, dalam hal ini penulis mencontohkan kampus.
Kampus sebagai pusat berkembangnya teori dan diskursus pengetahuan
mesti mengkaji terobosan teknologi yang mampu dijangkau masyarakat.
Dalam kurikulum perkuliahan mesti dimasukan mata kuliah yang
menghantarkan mahasiswa berpikir tindaklanjut dari ilmu pengetahuan
yang mereka pelajari. Jadinya teknologi baru yang diciptakan mengacu
ke masalah yang ada dalam masyarakat atau pada isu yang sedang
dilawan masyarakat bukan mengacu pada kebutuhan pasar. Kampus pun
dapat membuat sebuah pusat studi yang mengkaji korelasi antara
problem masyarakat bawah dengan teknologi yang bisa diciptakan. Dari
pusat studi itu nanti akan muncul suatu hasil penelitian yang mampu
berpihak kepada masyarakat.
Dan
yang terakhir politik. Jika kita bicara dalam lingkup kebijakan
pemerintah tentunya kebijakan yang revolusioner dibutuhkan
kemauan dalam hal politk yang mau mengakomodir hal itu. Otomatis jika
praktek politik yang diterapkan masih mengacu kepentingan elit tanpa
melibat kepentingan masyarakat sebagai subjeknya, kemunculkan
kebijakan pemerintah yang ingin melahir teknologi mampu mengakomodir
masyarakat terpinggirkan tidak akan tercapai. Untuk itu kesadaran
akan politik, yakni pendidikan politik mesti dipahami oleh
insan-insan pakar teknologi yang ada. Mahasiswa dan dosen berbasis
keilmuan teknologi –seperti informatika, sipil, dll-- tidak boleh
alergi terhadap politik. Politik di sini tentunya bukan politik yang
konotasinya pemilu tapi politik dalam arti langkah
ideologis/kepentingan yang melahirkan kebijakan.
Negeri
ini pada akhirnya harus mampu berdaulat. Bukan hanya berdaulat atas
alam, ekonomi,
maupun politik. Tapi juga dalam hal teknologi. Di era sekarang negara
yang tidak mau sadar bahkan menciptakan terobosan teknologi sendiri
akan terjajah dan ketergantungan oleh asing.
Sleman, 17 Agustus 2015. #MerdekaDenganTeknologi