Oleh:
Moch. Ari Nasichuddin
Sejarah keterlibatan pemuda
dalam dunia media sudah ada sejak lama. Sudah terjadi sejak zaman
kolonial. Media yang dikelola pemuda kala itu berisi pikiran-pikiran
pemuda akan kondisi nusantara yang masih dirundung kemiskinan, angka
buta huruf tinggi, hingga tanam paksa karena efek penjajahan. Media
yang masih berwujud koran digunakan pemuda dan masyarakat untuk
mengeluarkan dan mengekspresikan pikiran mereka. Koran-koran ini
menjadi ruang dialog pemikiran dan menjadi ruang mengkritik
pemerintah kolonial.
Sosok Tirto Adi Suryo yang oleh
Pram diceritakan sebagai seorang Minke dalam novel Bumi Manusia
menunjukkan bagaimana kegiatan jurnalistik menjadi faktor penting
dalam gerakan. Tirto menjadikan media yang ia gawangi sebagai
penyambung pemikiran aktivis yang saat itu masih berjalan
sendiri-sendiri di daerah. Media ini menunjukkan keberpihakan yang
jelas: memprovokasi rakyat agar bangun dan bergerak merebut
kemerdekaan.
Mendekati kemerdekaan media yang
dikelola pemuda berfungsi sebagai alat propaganda masyarakat.
Berkoar-koar bahwa kemerdekaan harus direbut, kemerdekaan menjadi hak
bangsa Indonesia. Dan kemerdekaan pun digenggam tangan bangsa
Indonesia.
Pada pemerintahan soekano posisi
media pemuda masih vital. Pemuda melalui media mengutarakan
perspektif mereka tentang bagaimana republik yang masih muda itu
dibangun. Setiap media mempunyai ideologi/arah gerak masing-masing.
Dari yang islam, komunisme, marhaenisme, dan isme-isme yang lain.
Organisasi pemuda di setiap partai mempunyai media sendiri untuk
melakukan propaganda. Tak jarang ajang “serang” pemikiran pun
terjadi. Itulah dinamika.
Arus gerak media yang dikelola
pemuda/mahasiswa juga turut dipengaruhi kemana arus gerakan mahasiswa
kala itu. Menjelang tahun 65 ke atas mahasiswa mengkritik keras
pemerintahan Soekarno. Mahasiswa dan media mahasiswa pun turut ikut
andil pada masa lengsernya kala itu.
Memasuki era Soeharto posisi
gerakan mahasiswa yang tadinya mendukung Orde Baru berbalik arah
mengkritik keras pemerintahan itu. Selama Orde Baru berkuasa naik
turun gerakan mahasiswa khususnya pers mahasiswa terjadi. Pemerintah
Orde Baru yang mempunyai pendekatan militer melakukan pembredelan
terhadap persma. Hal ini karena persma sangat mengkritik keras
pemerintahan Orde Baru yang berpihak ke barat, korupsi, nepotisme,
hingga melanggar HAM.
Ketika masa orde baru media
profesional pun juga turut terkena bredel. Terlebih lagi kala itu
untuk membuat suatu media diperlukan izin dari departemen penerangan.
Dengan prosedur ini Orde Baru melakukan filter (baca: pengendalian)
pertumbuhan media di Indonesia.
Orde Media
Selepas
Orde Baru usai, perkembangan media semakin menggila. Surat izin
penerbitan yang sebelumnya menjadi syarat utama mendirikan media
sudah dihapus. Media-media pun lahir dengan sendirinya.
Pasca
Orde Baru ini juga kita diperlihatkan perkembangan media sosial yang
dahsyat. Ditambah lagi munculnya perangkat telpon pintar yang berisi
berbagai macam perangkat lunak untuk berkomunikasi. Lalu lintas
informasi semakin mudah dan bahkan tidak terkendali.
Dalam
buku berjudul Blur, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang sebelumnya
menulis buku Sembilan Elemen Jurnalisme mengenalkan istilah Tsunami
Informasi. Istilah itu menunjukkan bahwa era sekarang informasi
semakin banyak dan tak terkendali. Untuk itu seiring terbitnya buku
Blur itu, Bill Kovach dan Tom Rosentiel menambahkan satu elemen lagi
dari sembilan elemen yang sudah ada sebelumnya. Elemen tambahan ini
menuntut warga turut bertanggungjawab juga atas informasi yang
beredar dan diedarkan oleh warga sendiri. Tanggungjawab menuntut
warga lebih cerdas dalam memilah informasi. Tidak saja langsung
mempercayai, namun juga mempelajari keberimbangan berita yang ia
baca. Dan sekiranya itu ada kesalahan, warga mesti melaporkan ke
media bersangkutan agar berbenah diri.
Istilah
Orde Media didapati penulis dari buku berjudul Orde Media yang
diterbitkan atas kerjasama Remotivi dan INSISTPress. Buku Orde Media
mengatakan setelah Orde Baru kepemilikan media jatuh di tangan
oligarki yang menguasai industri media melalui kapital yang ia
miliki. Tercatat media-media dimiliki individu yang ternyata juga
sebagai politisi elit yang meramaikan blantika perpolitikan
Indonesia. Taruhlah Surya Paloh dengan Metro TV dan Media Indonesia.
Abu Rizal dengan TV One. Dan Dahlan Iskan dengan Jawa Pos-nya.
Dalam
buku Orde Media dikatakan media-media seperti televisi masih menjadi
favorit dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi riskan
karena media ini turut membentuk pemikiran dan persepsi publik
terhadap suatu isu. Otomatis ungkapan jika ingin menguasai sesuatu
kuasailah media dapat dibenarkan, karena ketika media sudah
dikendalikan maka secara tidak langsung juga turut mengendalikan
opini publik.
Masyarakat
Peduli Media (MPM) mengeluarkan buku berisi hasil penelitiaannya
terhadap media yang dimiliki oleh politisi yang partainya ikut dalam
Pemilu 2014 berjudul Media Terpenjara. Hasilnya diantaranya ada
kecenderungan media yang dimiliki politisi itu melakukan “kampanye
tersembunyi” untuk partai dari pemiliknya. Selain itu bentuk
bingkai berita di dalamnya juga disesuaikan dengan kepentingan
pemilik dari media tersebut. Jika ada kasus yang dinilai membahayakan
kepentingan politik atau usaha yang pemilik, maka sebisa mungkin
media itu tidak memberitakannya atau mungkin tetap memberitakan namun
dengan wujud yang lebih “halus”.
Permasalahan
media di atas merupakan wujud jika mengalami privatisasi.
Kecenderungan pemberitaan media sangat dipengaruhi kapital yang
dimiliki oleh pemiliknya. Sehingga media yang harusnya memberitakan
kebenaran dan berpihak ke warga sesuai butir Sembilan Elemen
Jurnalisme menjadi nihil.
Padahal
ketika iklim informasi serba bebas seperti saat ini harusnya
dibarengi kualitas jurnalisme yang bermutu. Jurnalisme mendalam yang
berdasarkan riset kuat sekarang sangat dicari.
Kepemilikan
tunggal media oleh politisi dan pengusaha, informasi yang membludak,
media yang kurang memperhatikan norma-norma etika jurnalistik menjadi
potret buram media masa kini. Lantas bagaimana ini bisa diubah?
Tawaran Memanajemen Media dengan Konsep Kooperasi
Pada tahun 2012, Dave Boyle
menulis naskah berjudul Good News: A Co-operative Solustions to The
Media Crisis. Dalam versi Indonesia-nya naskah ini diterbitkan dalam
buku berjudul Media Kooperasi & Kooperasi Media (MKKM). MKKM
menawarkan solusi atas permasalahan media yang sudah penulis uraikan
di atas dengan jalan kooperasi. Konsep kooperasi dikenal dengan suatu
sistem yang mendasarkan diri dengan kepemilikan bersama dan kerjasama
antaranggota. Dalam konteks media, anggota kooperasi atau bisa kita
sebut masyarakat menjadi pemilik bersama dari suatu media. Dengan
kondisi ini kepentingan pemberitaan media dapat dikontrol dan sesuai
kepentingan masyarakat.
Diluar itu dalam kualitas berita
pun, media kooperasi dapat lebih terkendali karena pemilik-pemilik
media ini mengontrol penuh kualitas dari isi konten berita. Tak hanya
itu saja, media kooperasi memberikan kebebasan pada setiap pemiliknya
untuk mengekspresikan pemikirannya dalam sebuah karya. Tanpa ada
filter politik yang biasa terjadi media privat. Konsep media dengan
kooperasi sebagai sistemnya sudah ada di beberapa negara. Sebut saja
La Diaria di Uruguay dan Tageszeitung di Jerman. Konsep media
kooperasi dapat menjadi tawaran dan usaha mengambil kembali media
yang seharusnya menjadi milik publik dari tangan kepentingan politisi
dan pengusaha. Atau ada solusi lain?[]
*
Tulisan ini menjadi pemantik diskusi dalam Training Jurnalistik HMI MPO FH
UII dan diskusi Media dan Jurnalisme di PMII Komisariat Wahid Hasyim UII.
Sumber bacaan:
Boyle,
D. 2013. Media
Kooperasi & Kooperasi Media.
Yogyakarta: INSISTPress dan Gerakan Literasi Indonesia (GLI).
Wicaksono,
A. P., dkk. 2015. Media
Terpenjara: Bayang-bayang Pemilik dalam Pemberitaan Pemilu 2014.
Yogyakarta: Masyarakat Pedul Media (MPM) dan TIFA.
Arief,
Yovantra dan Utomo, Wisnu Prasetya. 2015. Orde
Media:
Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru.
Yogyakarta: InsistPress dan Remotivi.
Burhan,
F.A. 2015. “Hilangnya Koperasi di Ranah Kurikulum Universitas.”
Himmah
Online
10 Februari. Diakses
pada 29 Oktober 2015.
http://lpmhimmahuii.org/2015/02/hilangnya-koperasi-di-ranah-kurikulum-universitas/.
Pereira,
Marcelo. 2015. “Media Kooperasi la diaria Uruguay: 'Mereka Bertahan
di sini Karena Mereka Merdeka'”. Literasi.co
6 Juni 2015. Diakses 10 Desember 2015.
http://literasi.co/media-kooperasi-la-diaria-uruguay-mereka-bertahan-karena-di-sini-mereka-merdeka/