Thursday 17 December 2015

Menarik Kembali Media ke Tangan Publik


Oleh: Moch. Ari Nasichuddin

Sejarah keterlibatan pemuda dalam dunia media sudah ada sejak lama. Sudah terjadi sejak zaman kolonial. Media yang dikelola pemuda kala itu berisi pikiran-pikiran pemuda akan kondisi nusantara yang masih dirundung kemiskinan, angka buta huruf tinggi, hingga tanam paksa karena efek penjajahan. Media yang masih berwujud koran digunakan pemuda dan masyarakat untuk mengeluarkan dan mengekspresikan pikiran mereka. Koran-koran ini menjadi ruang dialog pemikiran dan menjadi ruang mengkritik pemerintah kolonial.

Sosok Tirto Adi Suryo yang oleh Pram diceritakan sebagai seorang Minke dalam novel Bumi Manusia menunjukkan bagaimana kegiatan jurnalistik menjadi faktor penting dalam gerakan. Tirto menjadikan media yang ia gawangi sebagai penyambung pemikiran aktivis yang saat itu masih berjalan sendiri-sendiri di daerah. Media ini menunjukkan keberpihakan yang jelas: memprovokasi rakyat agar bangun dan bergerak merebut kemerdekaan.

Mendekati kemerdekaan media yang dikelola pemuda berfungsi sebagai alat propaganda masyarakat. Berkoar-koar bahwa kemerdekaan harus direbut, kemerdekaan menjadi hak bangsa Indonesia. Dan kemerdekaan pun digenggam tangan bangsa Indonesia.

Pada pemerintahan soekano posisi media pemuda masih vital. Pemuda melalui media mengutarakan perspektif mereka tentang bagaimana republik yang masih muda itu dibangun. Setiap media mempunyai ideologi/arah gerak masing-masing. Dari yang islam, komunisme, marhaenisme, dan isme-isme yang lain. Organisasi pemuda di setiap partai mempunyai media sendiri untuk melakukan propaganda. Tak jarang ajang “serang” pemikiran pun terjadi. Itulah dinamika.

Arus gerak media yang dikelola pemuda/mahasiswa juga turut dipengaruhi kemana arus gerakan mahasiswa kala itu. Menjelang tahun 65 ke atas mahasiswa mengkritik keras pemerintahan Soekarno. Mahasiswa dan media mahasiswa pun turut ikut andil pada masa lengsernya kala itu.

Memasuki era Soeharto posisi gerakan mahasiswa yang tadinya mendukung Orde Baru berbalik arah mengkritik keras pemerintahan itu. Selama Orde Baru berkuasa naik turun gerakan mahasiswa khususnya pers mahasiswa terjadi. Pemerintah Orde Baru yang mempunyai pendekatan militer melakukan pembredelan terhadap persma. Hal ini karena persma sangat mengkritik keras pemerintahan Orde Baru yang berpihak ke barat, korupsi, nepotisme, hingga melanggar HAM.

Ketika masa orde baru media profesional pun juga turut terkena bredel. Terlebih lagi kala itu untuk membuat suatu media diperlukan izin dari departemen penerangan. Dengan prosedur ini Orde Baru melakukan filter (baca: pengendalian) pertumbuhan media di Indonesia.

Orde Media
Selepas Orde Baru usai, perkembangan media semakin menggila. Surat izin penerbitan yang sebelumnya menjadi syarat utama mendirikan media sudah dihapus. Media-media pun lahir dengan sendirinya.
Pasca Orde Baru ini juga kita diperlihatkan perkembangan media sosial yang dahsyat. Ditambah lagi munculnya perangkat telpon pintar yang berisi berbagai macam perangkat lunak untuk berkomunikasi. Lalu lintas informasi semakin mudah dan bahkan tidak terkendali.

Dalam buku berjudul Blur, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang sebelumnya menulis buku Sembilan Elemen Jurnalisme mengenalkan istilah Tsunami Informasi. Istilah itu menunjukkan bahwa era sekarang informasi semakin banyak dan tak terkendali. Untuk itu seiring terbitnya buku Blur itu, Bill Kovach dan Tom Rosentiel menambahkan satu elemen lagi dari sembilan elemen yang sudah ada sebelumnya. Elemen tambahan ini menuntut warga turut bertanggungjawab juga atas informasi yang beredar dan diedarkan oleh warga sendiri. Tanggungjawab menuntut warga lebih cerdas dalam memilah informasi. Tidak saja langsung mempercayai, namun juga mempelajari keberimbangan berita yang ia baca. Dan sekiranya itu ada kesalahan, warga mesti melaporkan ke media bersangkutan agar berbenah diri.

Istilah Orde Media didapati penulis dari buku berjudul Orde Media yang diterbitkan atas kerjasama Remotivi dan INSISTPress. Buku Orde Media mengatakan setelah Orde Baru kepemilikan media jatuh di tangan oligarki yang menguasai industri media melalui kapital yang ia miliki. Tercatat media-media dimiliki individu yang ternyata juga sebagai politisi elit yang meramaikan blantika perpolitikan Indonesia. Taruhlah Surya Paloh dengan Metro TV dan Media Indonesia. Abu Rizal dengan TV One. Dan Dahlan Iskan dengan Jawa Pos-nya.

Dalam buku Orde Media dikatakan media-media seperti televisi masih menjadi favorit dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi riskan karena media ini turut membentuk pemikiran dan persepsi publik terhadap suatu isu. Otomatis ungkapan jika ingin menguasai sesuatu kuasailah media dapat dibenarkan, karena ketika media sudah dikendalikan maka secara tidak langsung juga turut mengendalikan opini publik.

Masyarakat Peduli Media (MPM) mengeluarkan buku berisi hasil penelitiaannya terhadap media yang dimiliki oleh politisi yang partainya ikut dalam Pemilu 2014 berjudul Media Terpenjara. Hasilnya diantaranya ada kecenderungan media yang dimiliki politisi itu melakukan “kampanye tersembunyi” untuk partai dari pemiliknya. Selain itu bentuk bingkai berita di dalamnya juga disesuaikan dengan kepentingan pemilik dari media tersebut. Jika ada kasus yang dinilai membahayakan kepentingan politik atau usaha yang pemilik, maka sebisa mungkin media itu tidak memberitakannya atau mungkin tetap memberitakan namun dengan wujud yang lebih “halus”.

Permasalahan media di atas merupakan wujud jika mengalami privatisasi. Kecenderungan pemberitaan media sangat dipengaruhi kapital yang dimiliki oleh pemiliknya. Sehingga media yang harusnya memberitakan kebenaran dan berpihak ke warga sesuai butir Sembilan Elemen Jurnalisme menjadi nihil.

Padahal ketika iklim informasi serba bebas seperti saat ini harusnya dibarengi kualitas jurnalisme yang bermutu. Jurnalisme mendalam yang berdasarkan riset kuat sekarang sangat dicari.

Kepemilikan tunggal media oleh politisi dan pengusaha, informasi yang membludak, media yang kurang memperhatikan norma-norma etika jurnalistik menjadi potret buram media masa kini. Lantas bagaimana ini bisa diubah?

Tawaran Memanajemen Media dengan Konsep Kooperasi
Pada tahun 2012, Dave Boyle menulis naskah berjudul Good News: A Co-operative Solustions to The Media Crisis. Dalam versi Indonesia-nya naskah ini diterbitkan dalam buku berjudul Media Kooperasi & Kooperasi Media (MKKM). MKKM menawarkan solusi atas permasalahan media yang sudah penulis uraikan di atas dengan jalan kooperasi. Konsep kooperasi dikenal dengan suatu sistem yang mendasarkan diri dengan kepemilikan bersama dan kerjasama antaranggota. Dalam konteks media, anggota kooperasi atau bisa kita sebut masyarakat menjadi pemilik bersama dari suatu media. Dengan kondisi ini kepentingan pemberitaan media dapat dikontrol dan sesuai kepentingan masyarakat.

Diluar itu dalam kualitas berita pun, media kooperasi dapat lebih terkendali karena pemilik-pemilik media ini mengontrol penuh kualitas dari isi konten berita. Tak hanya itu saja, media kooperasi memberikan kebebasan pada setiap pemiliknya untuk mengekspresikan pemikirannya dalam sebuah karya. Tanpa ada filter politik yang biasa terjadi media privat. Konsep media dengan kooperasi sebagai sistemnya sudah ada di beberapa negara. Sebut saja La Diaria di Uruguay dan Tageszeitung di Jerman. Konsep media kooperasi dapat menjadi tawaran dan usaha mengambil kembali media yang seharusnya menjadi milik publik dari tangan kepentingan politisi dan pengusaha. Atau ada solusi lain?[]

* Tulisan ini menjadi pemantik diskusi dalam Training Jurnalistik HMI MPO FH UII dan diskusi Media dan Jurnalisme di PMII Komisariat Wahid Hasyim UII.

Sumber bacaan:
Boyle, D. 2013. Media Kooperasi & Kooperasi Media. Yogyakarta: INSISTPress dan Gerakan Literasi Indonesia (GLI).
Wicaksono, A. P., dkk. 2015. Media Terpenjara: Bayang-bayang Pemilik dalam Pemberitaan Pemilu 2014. Yogyakarta: Masyarakat Pedul Media (MPM) dan TIFA.
Arief, Yovantra dan Utomo, Wisnu Prasetya. 2015. Orde Media: Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru. Yogyakarta: InsistPress dan Remotivi.
Burhan, F.A. 2015. “Hilangnya Koperasi di Ranah Kurikulum Universitas.” Himmah Online 10 Februari. Diakses pada 29 Oktober 2015. http://lpmhimmahuii.org/2015/02/hilangnya-koperasi-di-ranah-kurikulum-universitas/.

Pereira, Marcelo. 2015. “Media Kooperasi la diaria Uruguay: 'Mereka Bertahan di sini Karena Mereka Merdeka'”. Literasi.co 6 Juni 2015. Diakses 10 Desember 2015. http://literasi.co/media-kooperasi-la-diaria-uruguay-mereka-bertahan-karena-di-sini-mereka-merdeka/

Wednesday 9 December 2015

Mengevaluasi Pendidikan Kooperasi Kita*

Oleh: Moch. Ari Nasichuddin

Mohammad Hatta adalah salah satu tokoh perjuangan kemerdekaan yang mempunyai ide bahwa kooperasi merupakan ideologi ekonomi yang cocok untuk Indonesia. Selain itu, Hatta adalah salah satu perancang pasal tentang ekonomi dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni Pasal 33. Informasi itu dikatakannya dalam buku berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (MKKM), sebuah buku yang berisi kumpulan pidatonya pada setiap peringatan Hari Kooperasi rentang 1951 hingga 1970-an dan pidatonya pada pembukaan forum-forum kooperasi. Di buku itu, Hatta juga secara khusus mengupas bagaimana memperkuat kooperasi dari jalur pendidikan.

Memperkuat kooperasi dari jalur pendidikan menjadi penting karena pendidikan merupakan sarana untuk menanamkan ideologi kooperasi dari generasi ke generasi. Hatta berbicara tentang pendidikan kooperasi dalam MKKM pada artikel berjudul “Pendidikan Menengah Koperasi”. Secara ideologis Hatta mengatakan bahwa kooperasi yang dikehendaki oleh UUD 1945 ialah kooperasi sebagai dasar perekonomian. Ini berbeda dari kooperasi di Barat yang menjadi sarana untuk memperoleh pembagian yang lebih adil di tengah perekonomian kapitalisme dan untuk mencapai produksi dan penjualan yang lebih rasional. Sebagai dasar perekonomian, cita-cita kooperasi dimaksudkan untuk menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental. Paham kooperasi Indonesia menciptakan masyarakat Indonesia yang kolektif, berakar pada adat istiadat hidup bangsa Indonesia yang asli tapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan tuntutan zaman modern. Sistem kerja kooperasi mengutamakan kerjasama dan suasana gotong royong dan bebas dari paksaan.

Pendidikan kooperasi mempunyai cita-cita membentuk orang dengan sifat-sifat yang diperlukan untuk mengembangkan kooperasi yang sejahtera. Hatta menyebut sifat-sifat itu terdiri dari: rasa solidaritas, individualitas, kemauan dan kepercayaan pada harga diri sendiri dalam persekutuan untuk melaksanakan self-help, cinta kepada masyarakat, serta rasa tanggung jawab moral dan sosial.

Dalam buku MKKM, Hatta mengatakan bahwa rasa solidaritas sebenarnya sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia yang asli. Rasa tolong-menolong dan gotong royong sudah tertanam dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Untuk itu, harusnya rasa solidaritas tidak susah untuk diajarkan kepada para calon kader kooperasi, karena sejak awal mereka sudah tumbuh dalam budaya solidaritas yang kental. Tetapi, rasa solidaritas saja tidak cukup untuk membangun sebuah kooperasi ekonomi. Rasa itu hanya bisa dipergunakan untuk membangun kooperasi sosial yang dimaksud Hatta, seperti gotong royong dalam membuat rumah dan mengerjakan sawah. Selain butuh rasa solidaritas, untuk membangun kooperasi ekonomi juga diperlukan sifat individualitas.

Harus dipahami bahwa individualitas berbeda dengan individualisme. Hatta menjelaskan bahwa individualisme adalah paham yang mendahulukan orang-seorang dari masyarakat. Sementara itu, individualitas merupakan kesadaran seseorang akan kapasitasnya atau bisa dikatakan kepercayaan diri suatu individu. Kepercayaan diri ini tidak tumbuh begitu saja, mesti dipicu dengan didikan dan asuhan. Dan sifat tersebut menjadi kunci tumbuhnya rasa ingin mandiri, memperbaiki nasib dengan tenaga sendiri. Apabila dihubungkan dengan rasa solidaritas, semangat untuk mandiri ini akan semakin kuat.

Untuk merealisasikan visi pendidikan kooperasi di atas, visi tersebut perlu diajarkan pada setiap sekolah formal yang ada di Indonesia sebagai wujud konkret mencetak masyarakat yang berjiwa kooperasi. Untuk konteks sekolah formal, Hatta mengatakan dalam seminar kooperasi di Yogyakarta pada 1958, perlu dibentuk sekolah menengah kooperasi. Tujuannya adalah demi mewujudkan tenaga ahli dalam bidang kooperasi. Ahli di sini tidak hanya secara teknis tapi juga secara ideologi. Ide pembentukan sekolah menengah kooperasi didasari oleh keinginan Hatta dalam rangka mencetak kader-kader kooperasi di daerah, sehingga harapannya semakin banyak kooperasi yang berkualitas. Semenjak itu, banyak sekolah menengah kooperasi dibuka di berbagai daerah.

Sekolah Menengah Kooperasi Dewasa Ini
Lantas, apakah sekarang ini masih ada sekolah formal yang mengajarkan nilai-nilai kooperasi? Dan bagaimana nasib sekolah menengah kooperasi dewasa ini?

Sejauh penulis telusuri, riwayat sekolah menengah kooperasi saat ini berada di ujung tanduk. Sekolah-sekolah menengah kooperasi di beberapa daerah sudah gulung tikar. Sekolah menengah kooperasi yang tersisa salah satunya berada di Yogyakarta. Selain di Yogyakarta, ada SMP Koperasi, SMA Koperasi, dan SMK Koperasi di Pontianak. Cerita mencengangkan terjadi di SMK Koperasi Pontianak. Sekolah itu mau tidak mau mesti berkompromi dengan pasar agar mendapatkan perhatian publik. Masyarakat menilai sekolah formal dengan identitas kooperasi bukanlah hal yang menarik. Jalan keluar pun dibuat untuk memecah kebuntuan itu, salah satunya dengan menonjolkan kegiatan ekstrakurikuler di dalam sekolah. Kebijakan lain yang lebih radikal adalah membuka jurusan yang tidak berkaitan dengan ekonomi dan kooperasi. SMK Koperasi Pontianak pun membuka jurusan komputer dengan materi pelajaran rekayasa perangkat lunak. Pembukaan jurusan komputer ini didasari oleh pembacaan pihak pengelola sekolah bahwa masyarakat membutuhkan sekolah yang bisa mengasah keahlian khusus pada siswa, dalam hal ini adalah keahlian komputer.

Dari contoh tersebut, kita bisa melihat wujud keadaan sekolah formal yang notabene dijadikan sarana penanaman ideologi kooperasi malah tidak mampu hidup dan mesti mengikuti tuntutan pasar demi mendapatkan siswa. Otomatis sekolah seperti itu akan berkemungkinan kecil menghasilkan kader-kader kooperasi yang mampu mendirikan kooperasi di daerah mereka. Hal itu terbukti dari lulusan SMK Koperasi Pontianak. Lulusan sekolah itu belum ada yang bekerja di kooperasi atau mendirikan kooperasi. Padahal, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah memosisikan sekolah formal sebagai sarana pemahaman perkooperasian.

Sebenarnya ada kaitan antara keberadaan sekolah formal beridentitas kooperasi yang jumlahnya terus berkurang dan kondisi gerakan kooperasi semasa Orde Baru (Orba). Kebijakan ekonomi Orba yang lebih meningkatkan pertumbuhan ekonomi industrialisasi turut menjadi faktor. Kooperasi mengalami perubahan nilai dan hakikat. Sistem pemerintahan terpusat pada masa Orba menjadikan kooperasi sebagai alat kepentingan politik guna menancapkan kuku-kuku kekuasaan sampai level bawah.

Pada aspek politik hukum, UU Nomor 12 Tahun 1967 tentang Koperasi dan perubahannya menjadi UU Nomor 25 Tahun 1992 dibangun dengan persepsi yang salah tentang kooperasi. Melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1984, pemerintah mendorong Koperasi Unit Desa (KUD) yang sangat instan, politis, tidak memberdayakan dari bawah sesuai potensi manajemen, birokratis, dan sarat korupsi. Hal itu memunculkan stigma buruk terhadap kooperasi. Potret buruk itu membuat kooperasi di Indonesia menjelma sebagai wujud kegagalan pembangunan sehingga masyarakat pun memandang kooperasi sebelah mata. Kebijakan developmentalis semasa Orba membawa implikasi pada turunnya kepercayaan masyarakat terhadap sekolah formal yang mengedepankan kooperasi.

Pendidikan Kooperasi di Perguruan Tinggi
Tidak berhenti hanya pada pendidikan formal tingkat SMP, SMA, dan SMK, persoalan pendidikan kooperasi di tingkat perguruan tinggi juga memprihatinkan. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia meniadakan mata kuliah kooperasi dari kurikulum belajar mereka. Hal ini dikarenakan mata kuliah kooperasi dinilai tidak populer (baca: tidak sesuai tuntutan pasar) dan mahasiswa memandang kuliah tersebut sebelah mata. Tidak mengherankan, generasi muda yang memahami ilmu tentang kooperasi pun makin sedikit. Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sri-Edi Swasono, kondisi perguruan tinggi, khususnya fakultas ekonomi, yang sedemikian itu membuat perguruan tinggi di seluruh Indonesia berpihak pada kelompok kapitalis.

Mata kuliah kooperasi sekarang ini memang tidak menjadi mata kuliah utama, selain dipandang sebelah mata dan tidak bergengsi. Banyak kalangan yang menilai mata kuliah kooperasi tidak mampu memberikan daya tarik. Pengajaran mata kuliah kooperasi kurang memberikan contoh yang inspiratif dan memotivasi mahasiswa, serta tidak mampu memberikan ideological bearing untuk memantik semangat belajar dan komitmen ilmiah.

Kekurangan yang lain ialah pengajar atau dosen mata kuliah kooperasi belum mampu menandingi pemikiran ekonomi yang didominasi oleh sistem ekonomi pasar (liberalisme-kapitalisme). Pengajar belum mampu menyejajarkan peran ekonomi kerjasama (co-opperativism) dengan peran ekonomi yang berwacana persaingan (competitionism). Proses pembelajarannya pun kurang memberi contoh yang berisi studi kasus keberhasilan-keberhasilan kooperasi. Dosen seringnya kurang memadukan mata kuliah tersebut dengan mata kuliah lain, seperti ekonomi pembangunan, ekonomi perencanaan, dan sistem ekonomi. Tak jarang pula, mata kuliah kooperasi diajarkan dengan menekankan rentetan peristiwa daripada pemikiran dan perjuangan dari segala dimensi, mulai dimensi historis, sosial, kultural, hingga ideologi.


Semestinya mata kuliah kooperasi mampu mengajarkan ideologi ekonomi yang penuh dengan tuntutan moral-kultural dan motif-motif etis, mengingat sekarang ilmu ekonomi kurang akan nilai moral dan terlalu mengedepankan kepuasan maksimal dan keuntungan maksimal.


Ada dua posisi yang bisa ditempati mata kuliah kooperasi untuk menegaskan dirinya dalam sistem ekonomi, baik secara makro maupun mikro. Secara makro, mata kuliah kooperasi harus mampu untuk tidak hanya menjadi solusi atas sistem ekonomi yang sekarang, tapi juga mesti mampu menyebarkan semangat antieksploitasi, kedaulatan, dan demokrasi. Dengan demikian, mata kuliah kooperasi dapat menjadi pendorong demokratisasi ekonomi.


Untuk itu, dosen-dosen mata kuliah kooperasi mesti mengetahui perkembangan terbaru dari gerakan kooperasi, baik dalam negeri maupun mancanegara. Dosen pun perlu lebih kreatif dalam memberikan perspektif pemikiran guna menanggapi kondisi ekonomi yang tidak adil, cenderung eksploitatif, tidak partisipatif-emansipatif, termasuk proses swastanisasi yang bukan go public. Apabila dosen mampu merespons permasalahan ekonomi seperti telah disebutkan, harapannya mampu menarik semangat para mahasiswa, sehingga mahasiswa mampu menunjukkan kemauan terhadap permasalahan itu.


Secara mikro, mata kuliah kooperasi mesti mampu didorong kembali ke khittahnya, yakni untuk membangun kooperasi berdasarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar kooperasi. Prinsip dan nilai ini sudah ditegaskan dalam kongres International Co-operative Alliance (ICA) pada 1995 di Manchester, Inggris, serta mengacu pada nilai dan prinsip pendidikan kooperasi yang dikemukakan Hatta.

Menghadapi kondisi pendidikan bercorak kooperasi yang buruk seperti sekarang, beberapa upaya telah dilakukan perguruan tinggi untuk tetap mengikat kurikulum ekonomi berbasis kooperasi dalam kampus mereka. Salah satu upaya itu ialah penandatanganan nota kesepakatan antara perguruan tinggi negeri/swasta se-Jawa Timur dengan Dewan Koperasi Indonesia Wilayah Jawa Timur dan Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Timur pada 6 Januari 2012. Implikasi penandatanganan nota kesepakatan itu ialah perguruan tinggi mesti mengajarkan kurikulum berbasis kooperasi. Dari situ, perguruan tinggi diharapkan mampu memberi pengertian teoretis bahwa paham neoliberal yang kini sedang mencengkeram, sangat bermasalah. Secara teknis, kesepakatan ini akan dilaksanakan dalam tiga program: penyusunan kurikulum sebagai tolok ukur keberhasilan kooperasi, magang, dan kerjasama.

Tidak sampai situ saja, bentuk penerapan kurikulum berbasis kooperasi di perguruan tinggi juga dikuatkan dengan adanya Keputusan Bersama Menteri Negara Kooperasi dan UKM dan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pendidikan Perkooperasian dan Kewirausahaan. Perjanjian di antara kedua kementerian itu mengenai pendidikan kooperasi tercatat sudah tiga kali diteken. Adapun tujuan diberlakukannya surat keputusan bersama itu adalah untuk memasyarakatkan dan mengembangkan perkooperasian dan kewirausahaan serta menyiapkan kader kooperasi dan wirausaha yang profesional di segala lembaga pendidikan, mulai tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Adapun tujuan khusus bagi pihak perguruan tinggi ialah seluruh perguruan tinggi diharapkan mesti menempatkan perkooperasian sebagai mata kuliah atau sub-mata kuliah atau sub-pokok bahasan di semua program studi, baik yang berbasis ekonomi maupun tidak. Dengan demikian, kesan bahwa kooperasi hanya menjadi tanggung program studi ilmu ekonomi saja pun akan berkurang.

Betapapun sudah ada kebijakan dari pemerintah dan kerjasama dengan perguruan tinggi demi memasukkan nilai-nilai kooperasi ke dalam kampus, dalam praktiknya tidak semudah membalik telapak tangan. Masih ada penyelanggara pendidikan tinggi yang belum memasukkan pengetahuan tentang perkooperasian dalam kurikulum di seluruh program studi. Melihat masih ada perguruan tinggi yang “nakal” itulah, tentu perlu kita tunggu apa tindakan pemerintah selanjutnya. Di sini, keberpihakan pemerintah terhadap gerakan kooperasi akan terlihat jika ada usaha lain selain yang sudah penulis uraikan di atas.

Bercermin dari Mondragon University
Salah satu institusi pendidikan yang dibangun dengan sistem manajemen berbasis kooperasi ialah Mondragon University. Mondragon University adalah bagian dari gerakan kooperasi Mondragon yang berada di daerah Basque, Spanyol. Salah satu penggagas kooperasi Mondragon adalah Don José María Arizmendiarrieta. Didirikan pada 1997, sekarang jumlah mahasiswa Mondragon University sekira 9.000 orang. Karena berkonsep kooperasi, para karyawan di sana diposisikan sebagai pemilik universitas. Otomatis kebijakan dari kampus seperti gaji akan cenderung tidak merugikan sebelah pihak. Karyawan atau pekerja mempunyai akses untuk bersuara terkait kesejahteraan mereka.

Di luar itu, kultur akademik di sana bersifat terbuka. Komunikasi antara dosen dan mahasiswa ketika berbicara mengenai riset tidak mengedepankan keuntungan pasar, tetapi lebih pada bagaimana hasil kajian mereka mampu menyelesaikan problem masyarakat.

Pendidikan bernapaskan kooperasi yang diadakan Mondragon tidak sebatas pada tingkat perguruan tinggi, tapi juga pada jenjang-jenjang di bawahnya. Menurut Arizmendiarrieta, pendidikan dalam gerakan kooperasi tidak cukup hanya ditujukan untuk mempertahankan gerakan kooperasi, tapi juga untuk menghindarkan gerakan kooperasi dari pengambilalihan oleh para penguasa tiran. Salah satu faktor yang mendorong pendirian Mondragon adalah perlawanan terhadap kebijakan tangan besi pemimpin Spanyol kala itu, Jenderal Franco.

Dari sekelumit kisah Mondragon University tersebut, kita bisa mempelajari bahwa pendidikan yang dibangun dengan semangat kooperasi mampu menghadirkan semangat gerakan dalam melawan realitas kesenjangan yang ada dalam masyarakat. Kesenjangan ini bisa saja dilakukan oleh korporasi maupun pemerintah yang berpihak pada dan berkongsi dengan kapital. Pendidikan ala kooperasi menjadi kunci bagi terwujudnya gerakan kooperasi menuju terwujudnya masyarakat sosialistis. []

Bahan Bacaan
Adventures in Free Schooling. 2008. “The Education of Mondragón.” 3 November. Diakses pada 27 Oktober 2015. https://freeschools.wordpress.com/2008/11/03/the-education-of-mondragon/.
Antaranews.com. 2012. “Sri Edi Swasono: Fakultas Ekonomi Memihak Kapitalis.” 6 Januari. Diakses pada 29 Oktober 2015. http://www.antaranews.com/berita/291654/sri-edi-swasono-fakultas-ekonomi-memihak-kapitalis.
Bisnis.com. 2013. “Lembaga Pendidikan Formal Jadi Sarana Pemahaman Perkoperasian.” 3 Desember. Diakses pada 30 Oktober 2015. http://industri.bisnis.com/read/20131203/87/190146/lembaga-pendidikan-formal-jadi-sarana-pemahaman-perkooperasian.
Boyle, D. 2013. Media Kooperasi & Kooperasi Media. Yogyakarta: INSISTPress dan Gerakan Literasi Indonesia (GLI).
Burhan, F.A. 2015. “Hilangnya Koperasi di Ranah Kurikulum Universitas.” Himmah Online 10 Februari. Diakses pada 29 Oktober 2015. http://lpmhimmahuii.org/2015/02/hilangnya-koperasi-di-ranah-kurikulum-universitas/.
Hatta, M. 2015. Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Matthews, D. 2013. “Inside a Cooperative University.” 29 Agustus. Diakses 28 Oktober 2015. https://www.timeshighereducation.com/features/inside-a-cooperative-university/2006776.article.
Roekminiati, S. 2014. “Kajian Kurikulum Perkoperasian di Perguruan Tinggi: Studi Kasus di Universitas Airlangga, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Dr. Soetomo.” Fonema 2 (3): 120–136.
Solehudin, A. Tanpa tahun. “Ekonomi Kerakyatan dan Gagalnya Pembangunan Koperasi di Indonesia.” Diakses pada 31 Oktober 2015. http://indoprogress.blogspot.co.id/2007/11/ekonomi-kerakyatan-dan-gagalnya.html.
Suarakawan.com. 2012. “Gandeng Dinkop, PTN/PTS Siap Ajarkan Kurikulum Koperasi.” 6 Januari. Diakses pada 28 Oktober 2015. http://suarakawan.com/gandeng-dinkop-ptnpts-siap-ajarkan-kurikulum-koperasi/.
Sutardjo, S. “Komputer Sang Juru Selamat.” 1 April. Diakses pada 29 Oktober 2015. https://susansutardjo.wordpress.com/2012/04/01/komputer-sang-juru-selamat/.
Swasono, S.-E. 2003. “Koperasi sebagai Mata Kuliah di Universitas: Dapatkah Koperasi Menjadi Pilar Orde Ekonomi Indonesia?” 4 November. Diakses pada 28 Oktober 2015. http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul10_3.htm.

Wikipedia. Tanpa tahun. “SMK Koperasi Pontianak.” Diakses pada 29 Oktober 2015. https://id.wikipedia.org/wiki/SMA_Koperasi_Pontianak.

* Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di portal media kooperasi Literasi.co
http://literasi.co/mengevaluasi-pendidikan-kooperasi-kita/