Tuesday 23 June 2015

Aswaja: Sejarah Dinamika Umat Islam dan Analisis Sosial

Belakangan ini saya sedang giat mempelajari pemikiran bernama Ahlussunnah wal Jamaah atau biasa disingkat Aswaja. Suatu pola pemikiran yang memposisikan diri dengan mengamalkan ajaran qur'an, hadist nabi, khulafaurrasyidin, dan ulama 4 mazhab--Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi'i. Mazhab yang terakhir adalah mazhab yang digunakan sebagian besay masyarakat di Asia Tenggara.

Aliran aswaja biasanya diidentikan dengan organisasi masyarakat islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul 'Ulama. Di dunia pergerakan mahasiswa pola pikir ini diidentikan juga dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Selain itu, ada juga mahasiswa yang mengelompokkan diri dalam organisasi bernama Keluarga Mahasiswa Nahdlatul 'Ulama (KMNU), yang tentunya juga menempatkan Aswaja sebagai ideologi organisasinya.

Saya sendiri lebih suka menempatkan Aswaja sebagai salah satu corak intelektual bagaimana manusia menginterpretasikan Islam. Terlepas organisasi mana yang memakai ideologi ini. Karena corak pemikiran ini saya pikir mampu menjadi alternatif pemikiran ketika dewasa ini marak budaya Islam marah. Yakni Islam yang selalu menanggapi "hal baru" dengan marah, kafir mengkafirkan, dan sesat menyesatkan.

Oke, mari kita mulai berbicara Aswaja dari sejarah. Kemunculan pemikiran Aswaja tidak lepas dari dinamika pendapat umat Islam itu sendiri. Dimulai ketika zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib, adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Syiria waktu itu melakukan manuver untuk menggoyang pemerintahan Ali. Alhasil, perang pun terjadi. Beberapa kali perang kubu Muawiyah mengalami kekalahan. Hingga pada akhirnya diputuskan mengakhiri perselisihan dengan melakukan suatu kesepakatan. 

Kubu Muawiyah mendelegasikan Amru bin Ash dan kubu Ali diwakili Abu Musa al Asy'ari. Amru bin Ash adalah seorang politisi, pada saat forum ia menyarankan agar perundingan dimulai dengan pemerintahan yang kosong. Maksud dari Amru bin Ash ia menginginkan kubu Ali secara simbolik meletakkan jabatannya terlebih dahulu. Abu musa yang notabene adalah ulama langsung mengiyakan tawaran dari Amru bin Ash. Dengan cerdik Amru bin Ash mempersilahkan Abu Musa untuk mendeklarasikan peletakan jabatan karena dirasa ia lebih tua dan alim.

Setelah Abu Musa memproklamirkan peletakan jabatan Ali, Amru bin Ash bukannya malah bergantian mengatakan sama, tetapi malah menyatakan jabatan yang dilepas dari kubu Ali kini menjadi milik Muawiyah.

"Saudara-saudara kaum muslimin yang berbahagia, Abu Musa al Asyari mewakili khalifah Ali telah meletakan jabatan. Maka dengan ini jabatan khalifah saya ambil untuk diserahkan pada Muawiyah bin Abu Sofyan".

Maka pada detik itu Muawiyah yang kalah perang fisik dengan kubu Ali, giliran menang ketika taktik politik. Kekhalifahan Ali pun berpindah ke tangan Muawiyah.

Efek dari peristiwa itu umat islam terpecah menjadi 3 kubu. Kubu Ali terbelah menjadi 2; kubu Syiah dan Khawarij. Dan satu lagi adalah kubu Muawiyah. Kelompok Syiah adalah pendukung Ali, kelompok Muawiyah pendukung Muawiyah, dan kelompok Khawarij yakni kubu yang tidak pada pihak Ali maupun Muawiyah. Kelompok menilai kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak tidak sah karena tidak menggunakan hukum Allah atau Al-Qur'an sehingga mereka memutuskan Khawarij (Kharaja: keluar).

Sebagian besar masyarakat saat itu--kecuali kelompok Muawiyah--menilai perpindahan kekuasan dari Ali ke Muawiyah berjalan dengan tidak sah dan licik. Untuk mengatasi pandangan itu maka khalifah membuat aliran bernama Jabariyah. Kemunculan aliran ini dalam rangka melegitimasi kekuasaan Muawiyah yang menyatakan bahwa manusia tidak punya kekuasaan untuk berkehendak. Inti dari aliran Jabariyah, semua yang dilakukan oleh manusia sudah dikehendaki oleh Allah. Termasuk ketika Muawiyah dapat mengambil kekuasaan dari tangan Ali itu juga kehendak Allah.

Setelah itu selama masa pemerintahan Bani Umayah muncul aliran bernama Qodariyah yang diusung oleh Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib--cucu Ali bin Abi Thalib. Aliran ini mengajarkan sebaliknya dari aliran Jabariyah. Bahwa ketika manusia berkehendak, Allah tidak ikut campur, maka manusia harus bertanggungjawab atas perbuatannya. Ketika masa Bani Umayah paham ini hanya sebagai kritik  atas paham Jabariyah. Namun ketika memasuki pemerintahan Bani Abasiyah, paham Qadariyah dijadikan spirit pembangunan. Kemudian turunan dari paham ini dengan sedikit modifikasi mengatasnamakan paham Mu'tazilah.

Pada akhirnya lahirlah ulama bernama Abu Hasan al Asyari. Ia sebelumnya pengikut Mu'tazilah setelah itu keluar. Abu Hasan menyatakan tidak mengikuti kedua kubu ekstrem dan berdiri di tengah-tengah. Ia memproklamirkan paham dimana rasulullah dan sahabat berada di dalamnya, dan menyebut paham dengan sebutan Ahlusunnah wal Jamaah. Titik tekan pada paham ini yakni manusia berkehendak tetapi kehendak itu diketahui Allah. Manusia mempunyai kehendak tapi kehendak itu dibatasi dengan takdir Allah.

Aswaja sebagai Pisau Analisis Sosial

Aswaja harus diposisikan sebagai metodologi pemikiran (manhajul fikir). Ketika kita memposisikannya sebagai cara untuk berpikir, Aswaja akan bergerak secara dinamis sesuai dengan semangat zaman. Jika kita memposisikan Aswaja sebagai mazhab, ada kecenderungan aswaja menjadi kaku dan cenderung ortodok. Untuk itu Aswaja mempunyai pendekatan guna mencapai tujuan sebagai manhajul fikr. Seperti Tawasuth (moderat), Tawazun (berimbang), Ta'adul (netral atau adil), Tasamuh (toleran). Keempat pendekatan ini menjadi alat agar Aswaja dapat menjadi Manhajul Fikr.

Contohnya jika berbicara dalam konteks sosial-politik, kongkritnya tentang pendirian negara islam. Dalam aswaja tidak ada konsep yang negara yang baku. Sebuah negara bisa saja berdiri atas dasar kerajaan, agama, atau demokrasi. Dengan catatan negara itu mengakomodir prinsip-prinsip berikut: Syura (musyawarah), Al-'Adl (keadilan), Al-Hurriyah (kebebasan), Al-Musawah (kesetaraan derajat).

Oke, coba kita benturkan prinsip berikut dengan situasi di Indonesia. Saya akan mengambil prinsip Al-Hurriyah. Pada prinsip Al-Hurriyah dipecah menjadi Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima), yakni: Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa), Hifdzu al-Din (menjaga agama), Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda), Hifdzu al-Nashl (menjaga asal usul, identitas, garis keturunan warga negara), Hifzh al-'Irdh (jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi).

Kita tahu bahwa dalam UUD tertulis bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bisa dikatakan kekayaan alam yang dipunyai Indonesia pada hakekatnya adalah milik rakyat. Namun yang terjadi di Indonesia tidak sesuai dengan arahan UUD. Banyak eksploitasi alam terjadi di bumi Indonesia. Pada titik ini saya menilai negara telah lalai melaksanakan prinsip Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda).

Coba kita kontekskan dengan kasus lain. Pada zaman presiden SBY, kekerasan dengan mengatasnamakan agama amat sering terjadi. Entah itu pada kasus pendirian rumah ibadah atau tindakan vandal dari kelompok fundamentalisme kanan. Sebagai negara hukum, negara harus bertindak untuk menjaga kebebasan beragama. Dalam hal ini jika kita lihat dari kacamata Aswaja negara mesti menerapkan prinsip Hifdzu al-Din (menjaga agama).

Sesuai dengan apa yang saya uraikan diawal tulisan, Aswaja mesti dilihat sebagai suatu frame untuk membingkai dinamika sosial. Aswaja tidak hanya berhenti pada hal ritualistik saja tapi juga dapat menjadi dasar melakukan perubahan sosial. []

*Keseluruhan tulisan ini mengacu buku berjudul Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlusunnah Wal Jama'ah karya Nur Sayyid Santoso Kristeva.