Tuesday 13 November 2012

Lelaki Penjaga Tower


Bagaimana kisah seseorang lulusan STM jurusan kimia yang nyasar menjadi operator tower Jogja TV?

Oleh Moch. Ari Nasichuddin


ANAK KECIL ITU BERLARI-LARI KECIL TANPA MEMAKAI BAJU DI SEKITARAN KURSI. Terletak di sebuah ruang yang bisa dikatakan sebagai ruang tamu. Ukurannya kecil, sekisar 2x2 meter, berbentuk segiempat. Ditambah lagi kursi-kursi kayu yang mengitari di tiga sisinya. Sisi lainnya terdapat almari TV yang ditempeli poster Javier Hernandez, striker klub Liga Inggris Manchester United. Di belakang anak kecil, muncul sesosok lekaki memakai kaos putih dengan membawa kaos mengejarnya. Tangannya mengait anak tersebut.
          “Sek kene, gae klambi sek,” tutur lelaki itu kepada anak kecil.
          Laki-laki tersebut bernama Heri Setiawan. Pemuda berumur kisaran 25-26 tahun yang berdomisili di Dusun Soko, Desa Ngoro-Ngoro, Kec. Pathuk, Kab. Gunung Kidul. Ia ada seorang operator di tower Jogja TV. Heri, biasanya dia disapa.
          Heri bekerja sebagai operator tower Jogja TV. Tugasnya menghidupkan dan mematikan saluran Jogja TV sesuai jadwalnya.
Ia mendaftar sebagai karyawan di Jogja TV pada tahun 2006. Waktu itu kisaran 150-200 orang yang mendaftar.
“Semua diseleksi, termasuk saya,”tuturnya.
Alhasil, yang diterima masuk hanya sebelas orang, termasuk Heri. Dari kesebelas orang itu sekarang hanya sisa 5 orang. Ke empat orang ditempatkan sebagai tukang kebun. Sedangkan Heri sendiri diberi amanat sebagai operator.
Rupanya kerja Heri selama ini tidak sebagai operator saja. Ia sempat dipindahtugaskan di studio Jogja TV  daerah Berbah, Sleman.
“Saya dulu pertama satpam di [kantor] studio [Jogja TV], selanjutnya jadi operator disini, jadi master control setahun [di kantor studio Jogja TV], setelah itu pindah sini lagi pada tahun 2011,”Ucap Heri.
Kenapa ia selalu berpindah-pindah tugas menurutnya untuk memberdayakan karyawan.
“Dimana ada karyawan di untungkan, perusahaan juga diuntungkan,”kata Heri.
Pekerjaan Heri sebagai operator dibagi dua bagian. Bagian pertama jam 7 pagi sampai jam 7 malam. Sedangkan bagian kedua, jam 7 malam sampe jam 7 pagi.
“Dulu yang bekerja disini dua orang dua orang Mas, jadi ada temannya, tetapi sekarang nggak,”akunya.
Karena sekarang ia menjadi operator sendiri, konsekuensinya dirinya harus tetap stand by saat bertugas. Heri harus mencari kesibukan guna menghilangkan kejenuhan dan rasa kantuk.
“Bahaya Mas kalau ketiduran, bisa langsung ditelpon orang kantor saya,” tuturnya sambil sedikit tertawa.
Terkadang Heri mengajak teman-temanya untuk sekedar nongkrong di tempat kerjanya. Hal itu adalah upayanya untuk mengusir rasa jenuh. Selain itu, ia juga sering mengajak anak tunggalnya berumur 4 tahun, Ahmil namanya.
          SELAMA ENAM TAHUN BEKERJA HERI SELALU MEMPEROLEH PENINGKATAN GAJI. Dulu sewaktu ia masih menjalani masa-masa training ia mendapatkan gaji kisaran 375 ribu. Nominal gaji itu masih dibawah UMR Jogja saat itu. Dikarenakan menurut manajemen kinerja Heri bagus, maka ia diberi kenaikan gaji.
Nek dibilang cukup, untuk hidup itu cukup,” kata Heri.
           Heri menceritakan suka duka pekerjannya selama ini. Menurutnya, jika bekerja di tower pressuere sedikit. Berbeda bilamana ia bekerja di kantor. Di kantor penuh dengan pengawasan menurut Heri. Akan tetapi tak menutup kemungkinan ia harus memanjat tower Jogja TV setinggi 75 meter jika ada kerusakan. Ia juga sering memperbaiki semua kerusakan lainnya selama masih dalam skala kecil.
“Kerusakannya banyak, semisal power, transmisi, amplifier-nya ada yang rusak.  Terus yang sering sinyal rusak,” Ucapnya.
Heri mengaku sebelumnya belum pernah mendapatkan keahlian Elektronika di bangku STM. Bahkan ketika STM jurusannya kimia. Baru setelah ia mengikuti masa training di Jogja TV, ia mendapatkan keahlian elektronika dasar.
Meski berlawanan dengan disiplin ilmunya sewaktu masih di STM, ia tetap ikhlas menjalan pekerjaannya. Karena lulusan STM tahun 2001 ini memandang pekerjaannya ini hanya sebagai batu loncatan. Banyak pekerja di tv nasional yang dulunya juga bekerja di Jogja TV. Seperti, Hanum Rais dan Artika Amalia. Heri diam-diam juga berhasrat mengembangkan karirnya sampai tv nasional.­­­

Kardi dan Sepeda Merah


Oleh Moch. Ari Nasichuddin


Desir angin menyeruak disekujur tubuh. Iringan suara sepeda motor berlalu-lalang. Aroma tanah dan rumput liar mendominasi. Jalan tidak begitu ramai. Bahkan cenderung sepi. Sesekali terlihat anak kecil berboncengan naik sepeda. Kanan kiri jalan dihiasi dengan trotoar yang catnya masih baru.
Di samping trotoar, nampak sepeda onthel berwarna merah. Jok sepeda tersebut rusak. Catnya karatan, bahkan terlihat sangat renta. Di bagian belakang sepeda terdapat kayu yang sengaja diikatkan. Pemilik sepeda merah itu tak lain adalah seorang kakek. Ia mengenakan kaos kuning, berlengan biru, dan memakai topi. Mengenakan celana pendek berwarna hitam. Namanya adalah Kardi. Ia berdomisili di daerah Bencaran.
          Tak jauh dari sepeda merah milik Kardi bersandar, terlihat pematang sawah. Keadaan sawah gersang. Banyak tanaman liar menghiasinya. Ada tanaman rumput gajah, bayam, pisang, ketela. Akan tetapi, semua tanaman tadi itu tumbuh dengan liar.
Keadaan sawah sangat sepi. Hanya ada dua orang yang terlihat disana. Salah satunya Kardi. Sawah Kardi sudah lama tak terurus. Musim kemarau cukup mengganggu stabilitas sawahnya. Biasanya disaat penghujan sawah Kardi ditanami padi. Sedangkan, disaat kemarau biasanya ia menanami dengan kacang-kacangan. Namun, saat ini sawah kardi hanya dipenuhi tanaman gulma.
Kardi disana bukan untuk membajak, mengairi, maupun merawat sawah. Ia hendak mencari pakan kambing.
“Pun dangu pak jenengan ngarit dateng mriki?” tanya saya kepada Kardi.
          “Sampun mas, mpun dangu,”jawabnya.
Tidak disini saja Kardi mencari rumput. Terkadang ia juga mencari di daerah lain. “Kadang-kadang kulo dateng kulon mriko lek mboten lor mriko,” tutur Kardi sambil menunjukan arah barat dan utara. Sebelumnya Kardi sudah mendapatkan satu babon rumput. Satu babon sama halnya dengan satu karung. Tetapi satu babon tidaklah cukup untuk memberi makan keempat  kambingnya.
Umur Kardi 74 tahun. Meski begitu, ia tetap tegap menyabit rumput liar. Wajah keriput, tubuh renta, dan rambut beruban tak melumpuhkan kecekatannya. Sesekali ia menyingkirkan keringat dari dahinya. Kardi mengatakan ia telah mempunyai lima anak. Semuanya sudah mapan. Salah satu dari anaknya sudah bekerja sebagai tukang service di daerah Sleman.
Jam menunjukan pukul 16.00, Kardi bergegas pulang. Rumput yang diperoleh tidak begitu banyak. Tetapi wajah puas terpancar dari raut wajahnya.
“Mpun kesel mas,” Ucap Kardi sembari tersenyum.
Satu babon rumput ia kumpulkan. Ia mengikatnya kencang. Setelah diikat dinaikanlah rumput itu di sepeda merah milik Kardi. Sebelum pergi, sembari tersenyum ia berpamitan kepada saya. Saya pun membalas dengan melambaikan tangan.