Friday 24 October 2014

Independensi dan Pemberitaan Pers Mahasiswa Pasca Orba Runtuh[1]

Oleh: Moch. Ari Nasichuddin[2]
            Sebelum berbicara peran pers mahasiswa sebagai pers alternatif dalam menyikapi runtuh independensi pers umum, maka baiknya menelaah dulu arti independen. Manakah yang dipilih, independen atau netral? Independen ialah bebas dari pengaruh, sehingga jurnalis bisa menentukan pilihan kesadarannya sendiri. Ia punya kebebasan. Ia independen dalam memilih. Jurnalis independen terhadap sumber liputannya, sehingga ia tidak terpengaruh. Ia menentukan sendiri. Ia harus menentukan sikapnya dengan jelas. Inilah yang harus dipegang erat oleh jurnalis.[3]
            Lantas bagaimana dengan netral? Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Imparsialitas (tidak berpihak) juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.       Tapi Kovach dan Rosenstial mengatakan jurnalis mesti keberpihakan. Berpihak kepada siapa? Yaitu berpihak kepada kebenaran. Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional. [4]
Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi. Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.[5]
Persma dan Independensi
Berbicara tentang persma ada yang menarik untuk kita cermati terkait orientasi gerakan pers mahasiswa. Pertama, sebagai media, pers mahasiswa terkendala dampak kondisi politik Indonesia. Setelah tumbangnya rezim ototarian, kebebasan pers tanpa batas. Pers umum yang semula tidak berani memberitakan hal-hal yang sensitif di masa pemerintahan orde baru kini jauh lebih berani. Dalam kondisi demikian, posisi dan orientasi pers mahasiswa sebagai media alternatif perlu dievaluasi. Pengertian alternatif dalam konteks ini adalah untuk menunjuk pada sikap keberanian pers mahasiswa dalam memberitakan berita-berita yang tidak diangkat media umum kala itu. Lantas apalagi yang dikatakan alternatif sekarang? Pertanyaan yang muncul masa itu. Jangankan membuat berita kasus atau investigasi, menerbitkan media sendiri saja berkala: kala-kala terbit, kala-kala tidak. Banyak faktor yang menyebabkannya, mulai dari SDM sampai pendanaan. Kedua, sebagai bagian dari gerakan mahasiswa, pers mahasiswa tak luput dari dampak polarisasi dan segmentasi organisasi gerakan mahasiswa. Hubungan antara organisasi gerakan mahasiswa tidak lagi harmonis seperti sebelum 1998. Karena selain musuh bersama gerakan mahasiswa sudah tidak ada lagi dan menyebarkan wacana kekuasaan di daerah-daerah, banyaknya kepentingan sulit untuk dicari jalan tengahnya.[6]
Imbas dari tidak adanya musuh bersama ini orientasi gerakan mahasiswa menjadi kembali ke kampus. Hal ini tidak hanya menceraikan mahasiswa dengan rakyat, tapi juga mengadu domba sesama gerakan mahasiswa bahkan dengan gerakan pers mahasiswa. Pers mahasiswa yang cenderung mengkritisi birokrat kampus (BEM atau Senat) tak jarang menjadi sasaran kritik dari aktivis gerakan mahasiswa. Persoalan lain yang muncul akibat perseteruan ini yakni pemahaman “kuasa lahan”, rebutan dominasi di dalam kampus. Hal yang sebelumnya tidak terjadi membuat gerakan mahasiswa sibuk sendiri di dalam kampus dan terlena, lupa dengan tujuan sebagai gerakan. Terlalu menikmati kekuasaan yang kecil di kampus, menjadi penguasa kampus. Inginnya seluruh kampus dikuasai. Sehingga tidak heran terjadnya krisis eksistensi. Gerakan berebut mengisi ruang-ruang publik lewat media mahasiswa adalah salah satunya. Pada titik ini, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) sering dijadikan sasaran perebutan hasrat perebutan kekuasaan.[7]
            Imbas dari dari runtuhnya Soeharto ternyata menimbulkan imbas yang tidak main-main. Orientasi pers mahasiswa yang dulu titik alternatifnya melalui isu kini tolak ukurnya adalah independensi. Namun, apakah memang pers mahasiswa bisa menjadi independen? Selang orde baru runtuh ternyata banyak aktivis gerakan mahasiswa yang “menguasai” LPM. LPM akhirnya mati  tidak ada regenerasi setelah “dikuasai” gerakan mahasiswa ekstra. Sebab LPM yang sudah dikuasai diposisikan sebagai penyokong nalar kekuasaan mereka di kampus, bukan sebagai gerakan. Imbas kasus semacam ini organisasi ekstra dijauhi pers mahasiswa.
            Bahkan ada kabar yang menyatakan sebuah LPM karena ditunggangi organ ekstra tertentu pemberitaan mereka menjadi berat sebelah. Menjadi bertendensi dan terkesan sangat “menembak” organ ekstra lainnya. Kalau sudah seperti ini kondisinya alih-alih untuk menjadi alternatif, rasa independensi yang notabene mesti dimiliki sebuah media pun tidak dimiliki.
            Artinya apa, persoalan independensi ternyata juga tidak hanya milik media mainstream saja, tapi sekelas persma pun juga tak luput dari itu. Oleh karena itu, jika pers mahasiswa ingin menjadi pers alternatif maka tantangan yang mesti dihadapi adalah menyinergikan SDM yang ada dalam tubuh persma tersebut. Sejak sebelum orde baru runtuh persma telah menjelma menjadi rumah dari segala mahasiswa gerakan. Di dalam persma, terdapat bermacam-macam mahasiswa dari organ ekstra tertentu. Tapi ini tidaklah menjadi masalah ketika itu. Karena mahasiswa masih memiliki tujuan bersama: mengkritisi rezim represif bernama orde baru. Nah sekarang, apakah seperti itu tidak mungkin? Mungkin sekali. Persma tetap bisa menjadi rumah dari berbagai golongan. Gerakan mahasiswa (baik persma dan organ ekstra) pasca reformasi harus tetap berorientasi pada perjuangan rakyat. Selalu kritis kepada pemerintahan juga tidak lupa melakukan pendidikan kepada masyarakat dan mahasiswa. Visi itu lah yang mestinya dicanangkan. Dengan ini baik itu mahasiswa ekstra maupun persma tetapi bersinergi untuk melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Alternatif dalam Pemberitaan
            Keruntuhan orba juga mempengaruhi angel pemberitaan persma. Jika kala itu kebanyakan pemberitaan persma sangat kritis terhadap pemerintah terpusat karena seiring pers umum yang tidak terlalu berani. Kini banyak persma yang mengubah lingkup pemberitaannya pada skala daerah -baik itu provinsi maupun kab/kota. Perubahan angel ini seiring dengan adanya kesadaran dari insan persma bahwa pers umum sekarang lebih bebas setelah masuk masa reformasi. Selain itu, adanya politik otonomi daerah juga bisa saja menjadi faktor berubahnya lingkup pemberitaan persma. Adanya otonomi daerah menyebabkan pusat tidak selamanya punya kekuasaan penuh terkait kebijakan. Daerah sekarang diberikan otoritas dalam mengeluarkan policy sesuai kebutuhan daerah tesebut.
            Sayang, lahirnya otonomi daerah ikut melahirkan banyak mufsidun (koruptor-korupto kekuasaan). Jika beberapa tahun lalu korupsi hampir seluruhnya terjadi dipusat, pasca otonomi, korupsi ikut tumbuh subuh di daerah. Apa lacur? Ternyata biaya tinggi pemilhan kepala daerah merupakan penyebab maraknya korupsi di daerah. Ketika mengikuti pemilihan kepala daerah, banyak calon disokong pengusaha yang ingin mendapat akses kemudahan bisnis. Uang dari pengusaha dipakai untuk beli “tiket” partai pengusungnya. Mesin politik partai efektif mengerahkan massa yang penting dibayar sang kandidat.[8]
Contoh permasalahan imbas otonomi daerah di atas mengharuskan persma jangan sampai luput mengawasi kondisi di daerah. Karena tak jarang, selain masalah korupsi, masih ada isu lain yang perlu diadvokasi seperti HAM, lingkungan, pendidikan, dan masih banyak lagi. Perihal pengangkatan isu ini bisa jadi hal alternatif yang nantinya akan diseriusi persma. Ketika pers umum terlalu “sibuk” memberitakan isu mainstream atau mungkin isu  yang berbau tendensi, persma hadir menawarkan isu alternatif yang menurut pers umum kebanyakan tidak lah menarik.



[1] Makalah Diskusi HMI MPO Korkom UII, Pelataran Gd. Kahar Muzakir, Oktober 2014.
[2] Pemimpin Umum LPM HIMMAH UII dan Mahasiswa Teknik Informatika 2010
[3] Makalah Diklat Dasar LPM KOGNISIA FPSB UII oleh A. Pambudi W. Pemimpin Umum LPM HIMMAH UII Periode 2007-2009
[4] Andreas Harsono, “Sembilan Elemen Jurnalisme: Sebuah buku yang sebaiknya dibaca orang yang tertarik pada jurnalisme.” diakses dari http://www.andreasharsono.net/2001/12/sembilan-elemen-jurnalisme.html, pada tanggal 24 Oktober 2014 pukul 15.30
[5] Andreas Harsono, lot. cit.
[6] Moh. Fathoni, DKK, Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, Komodo Books, Depok, 2012, hlm. 132-133.
[7] Ibid., hal 134-135.
[8] Dwi Kartika Sari, “Mufsidun”, HIMMAH, No. 01/Thn. XLV/2012, hlm. 7.

Tuesday 6 May 2014

Mengkritisi Pemilihan Rektor UII

Berawal pada Jum'at, 28 Februari, Panitia Pemilihan Rektor dan Wakil Rektor UII Periode 2014 – 2018 menetapkan Hadri Kusuma sebagai Rektor Terpilih. Tepatnya kala itu siang hari setelah sholat jum'at. Namun, kita mesti tahu juga bahwa pada pagi harinya rektorat juga membentuk sebuah tim. Tim ini nantinya akan melakukan investigasi. Investigasi apa? Ternyata sebelumnya telah tersiar kabar bahwa ada calon rektor yang dicurigai menyalahgunakan dana dari dikti. Dana ini adalah Beasiswa Biro Berencanaan dan Kerjasama Luar Negeri (BPKLN). Tugas utama tim ini menelusuri apakah benar calon rektor yang juga menjabat sebagai dekan positif menyalahgunakan dana beasiswa. Rencana awal tim ini bekerja selama 10 hari. Namun pada prakteknya rektorat memperpanjang masa kerjanya karena dirasa kurang.

Hingga pada Rabu, 26 Maret, tepatnya saat Senat Universitas menyelenggarakan rapat dengan agenda pembahasan hasil Tim Investigasi, mahasiswa atau mereka menyebut dirinya Keluarga Mahasiswa (KM) UII mengadakan demonstrasi tepat di depan GKU Sardjito, tempat terselenggaranya rapat senat tersebut. Demo ini bukannya tanpa sebab. Sebelumnya DPM U yang notabene lembaga perwakilan mahasiswa universitas sudah mengirimkan surat kepada Tim Investigasi bentukan Rektorat untuk meminta hasil investigasinya. Juga mereka telah menyurati Rektorat melalui Direktorat Kemahasiswaannya dan Wakil Rektor III-nya. Tetapi hasilnya nihil. Tidak ada respon. Puncaknya saat jamuan makan bersama lembaga mahasiswa di Rumah Makan Padang Sederhana pada 21 Maret, Edy secara tegas menghimbau agar mahasiswa tidak menanyakan tentang hasil Tim Investigasi. “Ini bukan urusan kalian,” tutur Edy kala itu. Akan tetapi hasil dari demo ketika itu tidak sesuai harapan. Semula tujuan utama demo adalah menuntut transparansi hasil penelusuran Tim Investigasi. Namun senat, melalui Ketuanya yang juga Rektor UII, Edy Suandi Hamid mengatakan, untuk menyelesaikan persoalan ini senat perlu waktu. "Saat ini senat sedang membahasnya bersama dengan para anggota senat dan alumni UII ," tutur Edy. Artinya hasil kerja Tim Investigasi belum bisa disosialisasikan. Singkatnya, Edy mengharapkan mahasiswa agar bersabar. Hasil dari rapat senat akan diinfokan kepada mahasiswa beberapa hari lagi.

Selang berapa hari, tidak ada rilis info resmi dari pihak kampus terkait hasil rapat senat. Dari obrolan penulis dengan pihak DPM U, hasil dari rapat senat pada tanggal 26 Maret adalah calon rektor yang sebelumnya menjabat sebagat dekan di fakultas masing-masing positif terindikasi kasus pemotongan dana beasiswa.Dekan yang terindikasi adalah semua dekan di fakultas yang ada di UII kecuali FIAI. Namun, info ini masih perlu diverifikasi lagi. Dengan ini, otomatis dekan yang masuk dalam calon rektor gugur karena telah melanggar kode etik yang ada di UII. Hasil pilrek pun dibatalkan. Terkait pembatalan ini tidak ada rilis resmi dari kampus. Baik di laman uii.ac.id maupun di UII NEWS. Kampus terasa adem ayem.

Beberapa minggu kemudian, ada informasi bahwa Badan Wakaf (BW) UII telah melantik rektor presidium beserta wakilnya di gedung UII Cik Di Tiro lantai 3. Rektor Presidium dijabat oleh Harsoyo dari FTSP, sedangkan Wakil Presidium dijabat oleh Mustaqim dari FH dan Kumala Hadi FE. Dan lagi, tidak ada info resmi terkait hal ini. Seolah kampus memagari agar warga UII khususnya mahasiswa agar tidak tahu menahu. Padahal pembatalan hasil pilrek dan pelantikan rektor presidium berimbas ke banyak hal. Salah satunya wisuda. Wisuda yang semestinya diadakan pada bulan Mei mesti diundur pada bulan Agustus. Hal ini karena UII belum memiliki rektor definitif. Serta banyak hal lain yang kena imbasnya.

Rektor presidium sendiri mempunyai 2 tugas utama, yakni menjadi pengelola sementara kampus dan menyelesaikan permasalahan pilrek. Untuk penyelesaian masalah pilrek, rektor presidium yang otomatis menjadi ketua senat lalu menyelenggarakan rapat senat-penulis belum tahu kapan tanggalnya-yang membahas tentang penyelesaian kasus tersebut dan sanksi untuk yang melakukannya. Hasilnya rapat senat memutuskan pemilihan rektor resmi akan diulang, dan dekan yang terindikasi positif melakukan pemotongan dana akan dikenai sanksi sedang dan berat. Sanksi ini berupa tidak bolehnya menjabat jabatan struktural di UII yang sifatnya pemilihan (misal: dekan dan rektor) dan gelar profesornya akan dicopot selama 6 bulan. Hasil rapat senat ini selanjutnya akan diserahkan ke BW. Dan bagi pihak yang akan mengajukan banding silakan mengadap BW.

Hingga detik ini, pemilihan rektor ulang sedang berlangsung. Dengan panitia baru dan tentunya dengan bakal calon yang baru, meskipun ada bakal calon sebelumnya tidak lolos yang maju kembali. Ada perbedaan antara pilrek ulangan ini dengan pilrek yang sebelumnya. Jika pada pilrek sebelumnya, setelah senat memilih calon rektor selanjutnya BW memilihnya. Akan tetapi pada pilrek yang diulang sekarang tidak demikian, setelah senat memilih otomatis rektor tersebut akan menjadi rektor UII definitif. Hal itu penulis lihat dari poster agenda pilrek ulang yang ditempel oleh pihak panitia pilrek ulang.

Tujuh Poin Penting

Tulisan di atas hanya sebatas timeline dari kisah perjalanan pemilihan rektor UII yang penuh dinamika. Namun, ada beberapa hal yang penulis catat dan perlu diperhatikan. Pertama soal asal muasal isu pemotongan dana itu ada. Kira-kira siapakah orang yang mencuatkan info itu? Menurut hemat penulis, info yang mampu menggerakkan rektorat untuk membentuk sebuah tim investigasi dan berimbas membatalkan hasil pemilihan rektor ini bukan meluncur dari mulut orang sembarang.

Kedua, soal Beasiswa BPKLN. Sejak kapan beasiswa ini ada? Dan bagaimana selama ini beasiswa ini berjalan? Pada saat kapan pemotongan itu terjadi, apakah ditahun-tahun sebelumnya juga pernah terjadi? Kalau semisal juga terjadi ditahun sebelumnya apakah itu diusut juga? Dan kenapa Beasiswa BPKLN yang dipersoalkan? Apakah beasiswa-beasiswa lain tidak ada persoalan? Pun soal dana yang dipotong itu, kemana larinya? Desas-desus yang berkembang hasil potongan tersebut digunakan untuk biaya operasional beasiswa itu sendiri. Bahkan ada yang mengatakan untuk membiayai program umroh gratis yang di sebuah fakultas. Kedua info ini masih abu-abu sehingga perlu dicek kebenarannya.

Ketiga, soal penyeleksian atau pertimbangan panitia pilrek sebelumnya dalam memilih bakal calon rektor yang terpilih, apakah panitia tidak ada semacam fit and proper test? Apakah panitia tidak ada pertimbangan riwayat dosen yang akan mereka undang menjadi bakal calon rektor? Sekedar info saja, untuk pemilihan rektor UII sistemnya tidak berawal dari dosen yang ingin jadi bakal calon rektor datang mengajukan diri. Tetapi dimulai dengan pihak panitia mengirimkan surat undangan kepada dosen untuk diminta kesanggupannya menjadi bakal calon rektor UII. Peran panitia dalam menyeleksi atau mempertimbangkan dosen yang akan diundang di sini menurut penulis sangat penting. Karena ketika dari panitia sudah ada pengecekan rekam jejak bakal calon rektor, kasus yang sudah terjadi sekarang tidak akan ada dan dapat dihindari. Kasus ini menurut penulis dapat mengarah ke arah politis karena mencuat pada saat tahap akhir pilrek. Kalau saat pilrek ulangan sekarang tidak ada perubahan sistem-dan sepertinya memang tidak ada-maka tidak menutup kemungkinan kejadian serupa akan terulang lagi. Dan imbasnya mahasiswa UII juga yang terkena dampaknya.

Keempat, soal dosen atau dekan yang terindikasi. Jujur, penulis masih skeptis kok bisa orang-orang yang berkedudukan tinggi dengan gelar akademik yang mentereng-bahkan ada yang sudah profesor-melakukan kecerobohan seperti itu. Pasti ada yang janggal di belakang itu semua. Mahasiswa S1 yang belum lulus saja bisa mengatakan bahwa perbuatan itu menyalahi aturan masak sekelas doktor atau profesor tidak tahu?

Kelima, soal kerugian dari lamanya transisi proses kepemimpinan ini, apa saja kerugiannya, baik dari segi materil maupun nonmateril?

Keenam, transparansi informasi kepada mahasiswa sangat minim. Bahkan seolah tertutup. Hal itu terbukti dengan sulitnya pers mahasiswa yang ada di UII untuk meminta klarifikasi kepada pihak-pihak terkait. Baik itu kepada presidium, BW, dekan, panitia, dan Tim Investigasi. Tak hanya itu saja di media milik UII (UII News dan uii.ac.id) kampus tidak berani memberitakannya. Hanya berita informatif yang sifatnya positif saja yang diberitakan. Seolah UII membuat mahasiswanya agar tidak tahu, membodohi mahasiswa agar tidak kritis, dan membuat mereka agar hanya memikirkan kuliah-tugas dan kuliah-kuliah tugas. Mahasiswa dibuat untuk acuh tak cauh dengan persoalan sepenting ini, yang mana jika kasus ini diketahui pihak luar, nama besar UII di tataran nasional bisa runtuh. UII yang selama ini dikenal penghasil praktisi dan akademisi yang berkompeten di bidang hukum malah menjadi pelaku pelanggaran hukum.

Ketujuh, soal sanksi yang dikenai kepada dosen yang terindikasi. Kenapa UII memilih menyelesaikannya di internal? Kenapa UII tidak dengan tegas dan berani membawa kasus ini ke hukum yang berlaku di negara? Karena setahu penulis, pemotongan dana uang negara itu dinamakan korupsi. Dan kalau alasannya kenapa tidak membawa keluar itu untuk menjaga nama baik UII, apakah tidak sia-sia saja? Cepat atau lambat apakah tidak terdeteksi oleh negara? Pastinya beasiswa itu ada semacam laporan pertanggungjawaban kepada negara, bagaimana UII “menyembunyikannya”? Lantas, apa sikap kita sebagai mahasiswa UII yang melihat kampus melakukan pembohongan kepada negara? Diam atau mendukung?

Tujuh poin di atas tak lebih dari analisis kasar penulis pribadi. Mungkin Anda punya analisis lebih tajam dari saya. Yang pasti, kasus yang melibatkan dana tidak terjadi sekali ini saja. Pada tahun 80’an pernah terjadi kasus penggelapan dana pembangunan Kampus Antara-sekarang menjadi gedung Fakultas Ekonomi-yang bertempat di Condong Catur, Sleman. Kala itu ada pemuda bernama Slamet Saroyo yang mesti merenggang nyawa karena berusaha mengekspose kasus itu. Ia dibunuh oleh pendukung Efendy Ary, Pembantu Rektor II yang katanya menjadi aktor penggelapan dana. Lebih lengkap silakan baca buku “Api Putih di Kampus Hijau”. Hal yang mesti patut kita tiru dari kisah tersebut adalah semangat mahasiswa dulu yang tidak tinggal diam melihat ketidakberesan di dalam kampusnya. Semangat yang sekarang terlihat hilang dari dalam diri mahasiswa UII.

*Silakan diklarifikasi jika ada yang salah dari tulisan ini.

Thursday 1 May 2014

Berbicara Hari Buruh.

Hari buruh. Saya pikir tidak semua orang tahu tentang sebutan itu. Apalagi kalau kita menyebutkannya dengan istilah "May Day". Ha? Apalagi itu? Memang tidak semua orang mengenal hari buruh. Kecuali orang-orang dari kalangan aktivis, mahasiswa, akademisi, atau buruh itu sendiri. Tahun ini untuk pertama kalinya meliburkan hari buruh. Beberapa kalangan memandang hal ini sebagai kemajuan dari pemerintah akan kesadaran tentang buruh. Meskipun tidak menutup kemungkinan ada desakan dari dunia internasional. Tetapi ada pula yang berpandangan pemerintah sudah telat. Di negara lain perhatian pemerintah terhadap buruh sudah lebih dari itu. Tidak hanya meliburkan 1 Mei, tetapi sebagian negara lain sudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sifatnya mengatrol kesejahteraan buruh itu sendiri.

Lantas, apa benar negara kita memang tertinggal? Dua hari yang lalu saya membaca rubrik opini di Kompas. Biasanya opini di media ini ditulis orang-orang yang ahli sesuai opini yang ia tulis dan opini tersebut bertema sesuai kondisi isu nasional. Sesuai apa yang saya baca, sebenarnya Indonesia termasuk maju dalam menyikapi buruh. Salah satunya melalui Undang-Undangnya (UU). UU termasuk yang terbaik di Asia. Karena Indonesia termasuk negara yang banyak meratifikasi hasil himbauan internasional terhadap buruh, dalam hal ini ILO. Organisasi tentang buruh dibawah naungan PBB. Masalahnya sekarang amanat mulia dari UU ini tidak dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah. Dalam hal ini presiden dan kementerian tenaga kerja. Mereka malah mengeluarkan Inpres dan SK yang sifatnya menghambat tujuan dari UU. Dari sini kita sudah dapat satu permasalahan soal buruh di Indonesia.

Masalah kedua adalah soal penegakan hukum. UU mengamanatkan semua perusahaan sesuai apa yang tertulis di UU tersebut. Dalam prakteknya tidak semua perusahaan mengimplementasikannya. Tentunya ketika ini terjadi, harus ada sanksi. Namun negara seolah tidak berkutik. Mereka berdiam diri. Entah itu disengaja atau tidak.

Kedua poin di atas masih bisa bertambah lagi. Tapi paling tidak kita sudah tahu masalah apa yang mesti dituntut dari persoalan buruh. Biar kita tidak hanya ikut-ikutan saja dalam memperingati hari buruh tanpa tahu apa sich masalahnya.

Setelah kita paham akan masalahnya kita jadi punya acuan. Memperingati hari buruh tidak harus berdemo menurut saya. Bisa dengan membaca, berdiskusi, setelah itu menulis. Esensi "memperingati" adalah "mengingat". Dengan melakukan MMD (Membaca, Menulis, Diskusi) kita sudah melakukan pengingatan. Baik untuk diri sendiri atau untuk orang lain. Itulah tujuan saya menulis tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat mengingatkan bagi yang membacanya.

Tuesday 29 April 2014

Harapan Presiden Baru

            Ketika pemilu presiden sudah didepan mata, setiap warga negara pasti punya harapan. Begitu pula dengan saya. Secara singkat ada dua hal yang perlu dibenahi oleh presiden ke depan. Ialah aspek pendidikan dan hukum
           Saat ini kualitas pendidikan di Indonesia masih dikatakan rendah. Implikasinya kepada kualitas kecerdasan rakyat, khususnya di daerah. Akibatnya rakyat lebih mudah dipengaruhi atau mungkin diprovokasi. Kasus intoleransi antar umat beragama menjadi contohnya. Ketika masyarakat tidak mempunyai cukup pengetahuan bagaimana cara berhubungan dengan penganut agama lain, mereka akan lebih mudah berkonflik. Beranjak ke contoh lain. Mari kita berbicara tentang pendidikan politik di Indonesia. Mungkin masyarakat kota saja yang sedikit melek terhadap politik. Bagaimana dengan masyarakat yang ada di daerah? Mereka seolah mudah disogok oleh calon legislatif yang berkampanye di daerahnya.
Berbicara soal ranah hukum, sudah banyak kasus-kasus yang mencerminkan parahnya kualitas penegakan hukum di negara kita. Hukum yang seharusnya adil tanpa memandang latar belakang seolah tumpul ketika berhadapan dengan uang. Belum lagi berbicara masalah korupsi. Meskipun negara kita sudah ada KPK yang sering menangkap pelaku korupsi di tingkat pusat. Tetapi kita jangan lupa kasus korupsi di daerah. Era otonomi daerah tidak hanya mengubah daerah lebih punya akses dalam membuat kebijakan, tetapi juga berakibat pada berpindahnya kasus korupsi dari pusat ke daerah. Hal itu terjadi karena memang kualitas moral rakyat indonesia masih perlu ditingkatkan, yaitu lewat jalur pendidikan. Oleh karena itu, persoalan pendidikan dan hukum masih menjadi hal yang harus dikedepankan oleh presiden selanjutnya. Ketika itu sudah bersinergi, negara kita pasti akan lebih baik.
Kira dua hal itu yang menurut saya penting untuk ditingkatkan untuk kedepannya. Anda sepakat?

Thursday 27 February 2014

Pemilu Sudah Didepan Mata, Bagaimana Mahasiswa Harus Menyikapinya?

     "Beri aku 10 Pemuda, Maka Akan Kuguncangkan Dunia!" -Soekarno
Kemarin pagi (27/2) saya mendatangi diskusi di Universitas Muhamadiyah Yogyakarta (UMY). Diskusi ini bertema, "Transisi Pemilu Melalui PEMILU 2014: Urgen atau Tidak?". Acara ini dihadiri oleh organisasi pergerakan mahasiswa seperti, Kammi, IMM, HMI DIPO, HMI MPO, Sekber, SOPINK, Pembebasan. Saya akan mengulas secara urut jalannya diskusi biar kawan-kawan bisa ikut menyimak dengan membaca tulisan ini.

Diskusi yang dimoderatori oleh Eko Prasetyo ini dibuka oleh pernyataan dari BEM Fisip UMY. Mereka mengatakan kalau Indonesia tidak mempunyai kedaulatan sejak zaman Soekarno hingga SBY. Berlanjut ke Kammi, kita termasuk orang optimis atau pesimis. Pada masa Soekarno, ia terpilih bukan dari sistem tapi dari konflik poltik. Rezim Soeharto lahir dari sistem militer yang saat itu sangat kuat. Politik baru secara konstitusional lahir semenjak zaman Habibie. Pada masa reformasi sekarang, korupsi sudah menjamur di lembaga-lembaga tinggi negara. Tetapi terlepas itu semua, Kammi memandang poltik itu penting.

Beranjak ke SOPINK. Transisi adalah seremonial di era pasca reformasi. Dimana demokrasi tidak hanya karena pemilu. Tapi tinggal bagaimana frame dari politik Indonesia. Urgent atau tidak, kita tetap memilih. Ketika giliran Sekber, mereka mengkritisi tema diskusi terlalu subjektif. Kegagalan dari tahun '98 adalah tidak adanya konsep yang menelurkan figur. Yang mana figur itu nantinya akan menjadi calon-calon alternatf.

HMI DIPO menyatakan kita tidak memungkiri bahwa akan membicarakan sosok dalam diskusi ini. Transisi kepimpinan mereka pandang sangat urgent. Tapi sebelumnya pemilu ini penting bagi siapa? Takutnya ini hanya penting bagi golongan-golongan tertentu saja.

Kami kebingungan terkait urgent atau tidak. Dan kami tidak mau mengarahkan itu penting atau tidak, demikian yang dituturkan HMI MPO. Tapi harusnya bagaimana mahasiswa berpartisipasi saat pemilu. Pemilu sendiri bisa dilihat dalam 2 hal; pertama dalam hal transaksional, kedua mendorong dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. 

Dari Pembebasan saya tidak begitu mendengar karena masalah soundsystem. Sepenangkapan saya mereka menyatakan pemilu tidak urgent.  Berganti ke IMM. Merujuk pada tema, fokus diskusi berarti kepada pemilunya. Pemilu itu hadir pada alam demokrasi. Kalau memang dirasa penting, terus bagaimana kita menghindari pemilu? Pemilu adalah alat yang kita sepakati untuk transisi kepimpinan. Secara prosedural itu sudah benar. Jadi pemilu itu penting karena sudah di depan mata kita. Akan tetapi tetap kita tidak bisa menelan mentah-mentah, tetap kita mesti memantau substansinya.

Setelah perwakilan dari masing-masing organsasi berbicara, kini giliran audiens yang memberikan tanggapan. Penanya mengatakan gerakan mahasiswa harus bergerak terkait pemilu tahun ini. Beralih ke penanya kedua bernama Sona, ia mengatakan kalau kawan-kawan organisasi pergerakan analisisnya kurang dalam.  
Romi Maulana dari FH UMY angkatan 2013 menyatakan kepimpinan terlalu lama dapat menyebabkan rasa senioritas. Pemilu ini sangat urgent. Dengan berapi-api ia menegaskan kita sebagai mahasiswa menurut Tan Malaka harta paling penting adalah idealisme. Kita sebagai mahasiswa harus bisa membela kebijakan. Kita tidak perlu takut pemimpin yang salah, rakyat lebih ganas dari pemimpin yang ganas.

BEM Fisip memberikan tanggapan. Dari judul BEM Fisip ingin melihat mana perubahan-perubahan yang dicanangkan dari setiap organ pergerakan. Mereka menuturkan, kita sebagai mahasiswa adalah sebagai infrastruktur. Jadi mau siapapun yang jadi anggota DPR kalau sudah memenuhi syarat menurut UU itu tidak menjadi masalah. 

Pergerakan mahasiswa harus menjaga idealismenya. Dalam momentum 2014, kita akan menjadi controller. Dalam mengambil keputusan secara formal kita memang tidak ikut tapi kita bisa mengontrolnya. Menurut perspektif Islam, Indonesia ini sangat Islam sekali. Nabi mengatakan sebaik-baiknya perkataan adalah perkataan yang membenarkan sesuatu yang salah. Golput itu tidak bisa menjadi solusi, oleh karena itu kita harus partisipasi dalam pemilu. Demikian yang dikatakan HMI MPO ketika gilirannya

Salah satu mahasiswa FAI UMY mengatakan lagi kalau tema diskusi ini terlalu sempit. Ia mempertanyakan kenapa bisa organ-organ pergerakan membiarkan kroni Soeharto memimpin Indonesia lagi. Ini sudah tidak terkendali ketika pemilu diselenggarakan. Menurutnya, teman-teman organ pergerakan terlalu -maaf- goblok. Jadi, mahasiswa sekarang menjadi agent of goblokAudiens lagi bernama Lubis mengatakan secara sistem pemilu itu penting tetapi esensi tidak penting. Alasannya karena mahasiswa tahu parpol itu memang sudah tidak benar.

Sekber angkat bicara. Bicara demokrasi memang konsepnya dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Tapi mesti kita garis bawahi kalau mereka tidak punya integritas dalam memimpin. Lantas, apa kita biarkan mereka memimpin? Mahasiswa itu sebagai agent of pelopor. Kalau dalam saat ini kita tidak memilih, terus bagaimana lagi? 

Kammi tidak mau ketinggalan. Demokrasi itu adalah kado dari liberalisme. Masyarakat harus sebagai single society. Mahasiswa harusnya banyak dikirim ke pelosok untuk menyadarkan masyarakat. Kammi sendiri sudah punya program yang menyasar pemilih pemula bernama: gerakan 5 menit. Golput memang pilihan dalam dunia demokrasi. Setiap pemilu angka pemilihan menurun. Dan selama ini kita tidak pernah bicara soal parpol, sedangkan seharusnya kita harus tahu data-data soal parpol. Kalau kita golput, kita sama saja memberikan wakil ke orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

Ditengah diskusi Eko Prasetyo mengatakan pemogokan itu adalah hal biasa. Jangan sekali-sekali mengadili posisi nalar. Tapi kita bahas posisi politik. Sebenarnya ada tidak sih hubungan mahasiswa parpol dengan mahasiswa? Janganlah jadi oportunis semenjak mahasiswa.

Krisnantop, salah satu peserta diskusi menanggapi, kita harus memilih setan-setan kecil daripada setan-setan besar. Ia pun mengkritisi gerakan mahasiswa. Menurutnya gerakan mahasiswa tidak mampu menggerakkan sistem. Harusnya kita bukan saja berpatokan terhadap sistem yang ada, tapi lebih bagaimana kita memberikan sistem yang benar. Ada riset yang mengatakan gerakan mahasiswa menjadi perpanjangan tangan partai politik. Sistem yang selama ini ada mendidik untuk menghamba pada kekuasaan. Pendidikan tidak hanya untuk menjadi cendikiawan saja, tapi punya rasa moral pula. 

Kembali kepada SOPINK memberikan sikap, permasalahannya itu bukan di golput nya tapi karena tidak adanya transisi di setiap pemilu sehingga tidak ada perubahan. Ketika kita golput apa yang akan kita lakukan? Harusnya organ pergerakan itu memanfaatkan perbedaan ideologi antara organ satu dengan organ yang lain.

Berbeda dengan SOPINK, HMI DIPO beranggapan transisi itu ada meskipun secara real tidak ada perubahan. Kalau melihat golput, di luar sana masyarakat banyak yang memilih golput karena tidak percaya akan perwakilan. HMI DIPO mempertegas diri bahwa mereka tidak hanya berwacana tapi turut diikuti turun bersama untuk perubahan. Mereka menambahkan bahwa tidak bisa dipungkiri kalau peran mahasiswa sangat penting. Tapi mereka juga mengakui kalau gerakan mahasiswa mengalami kemunduran. Oleh karena itu HMI DIPO mengingatkan kalau mahasiswa mesti lekas berbenah.

Pembebasan memberikan tanggapan, menurut mereka mahasiswa ini punya kepentingan untuk siapa? Mahasiswa bisa berperan pada borjuis, dan bisa juga pada proletar. Langkah kongritnya, alahkah baiknya kita protes dengan mendatangi TPS dan kita tuliskan tuntutan ke surat suara terkait keresahan kita.

Beberapa peserta diskusi yang saya tidak tahu namanya turut memberikan bumbu saat diskusi. Mereka menuturkan pemilu nanti adalah kesempatan mahasiswa untuk bergerak. Kalau golput jadinya bukan mahasiswa pergerakan. Peserta selanjutnya menawarkan solusi agar mahasiswa memanfaatkan data yang dipunyai KPU. Berlanjut ke peserta diskusi selanjutnya, ia melihat bagaimana proses watak negara dari zaman dulu hingga kekinian. Kita sebagai mahasiswa harus cerdas dalam melihat masalah ini.

Tak terasa diskusi sudah beranjak ke pengujung acara. Masing-masing organ pergerakan pun diberi kesempatan memberikan last statement oleh Eko Prasetyo, dan tak ketinggalan pula "faksi" dari pengunjung.

Diawali oleh BEM Fisip, ia menyarakan agar kawan-kawan pergerakan tidak hanya mentok pada diskusi ini. Mesti ada tindaklanjutnya setelah ini. Diakhir, mereka mengutip ucapan Pramodya Ananta Toer yang berbunyi bahwa kita harus adil sejak dalam pikiran.

Selanjutnya SOPINK, mereka mengakui saat ini memang belum ada gerakan nyata. Tapi menurut mereka, gerakan selanjutnya adalah bagaimana kita menyatukan beberapa pandangan yang berbeda.

HMI DIPO berharap kepada mahasiswa agar jangan pesimis. Mari kita sama-sama membangun perubahan.

Sementara itu, pihak Pembebasan mengaku kalau sudah menyebar kuisoner. Mereka berpesan, agar kawan-kawan mahasiswa menentukan sikap mau dari bawah ke atas, atau atas ke bawah.

Tugas kita adalah bagaimana menyadarkan masyarakat yang tidak tahu. Itulah pernyataan terakhir dari pihak IMM.

HMI MPO menyatakan mahasiswa tetap pada controling ketika pemilu. Dan bagaimana mahasiswa menjaga agar pemilu tetap pada asa yang ada. Terakhir mereka mengutip firman Allah yang berbunyi, Allah tidak akan mengubah nasib kaumnya jika kaum itu tidak berusaha merubah dengan sendirinya.

Singkat, Sekber menegaskan tidak menolak pemilu dan terkait hal ini mereka menindaklanjuti dengan aksi penyadaran massa.

Giliran terakhir, Kammi, mereka menyatakan akan berpartisipasi dan mengawal pemilu. Kita akan memberikan edukasi kepada masyarakat agar jangan buta terhadap politik. Karena menurut seorang penyanyi asal Jerman, buta yang terburuk adalah buta politik,

Peserta pun tidak ingin ketinggalan, mereka mempertegas sepakat dengan pemilu tapi tidak sepakat dengan figur-figur yang ada.

Diakhir diskusi, Eko Prasetyo mengapresiasi atas acara yang diselenggarakan oleh BEM Fisip. "Kampus ini membangkitkan kesadaran mahasiswa akan politik. Kampus luar biasa," tukas Eko. Ia berharap setelah ini akan ada acara serupa di kampus-kampus lainnya.

Mahasiswa Harus Berpikir Jangka Panjang

Izinkan saya sebagai penulis untuk ikut mengumbar opini atas diskusi di atas. Memang sebagai pemilih saat pemilu 2014 nanti kita dalam posisi yang menurut saya dilematis. Disatu sisi kita harus memberikan hak suara saat pemilu nanti sebagai konsekuensi menjadi warga negara di negeri demokrasi, tapi di sisi lain dengan kenyataan yang menyalonkan sebagai caleg ada beberapa orang yang kurang kompeten, haruskah kita tetap memberikan hak pilih kita? 

Menurut hemat penulis, sebagai mahasiswa harusnya kita tetap memberikan hak suara saat pemilu nanti. Terlepas dengan kenyataan banyak "setan-setan" yang terpampang di surat suara nanti, tapi paling tidak dengan ikut serta kita dapat menghalaunya. Karena proses demokrasi itu tidak bisa ditunaikan dengan benar dalam waktu singkat. Perlu suatu "try and error" di setiap prosesnnya. Itu pandangan jangka pendek saya untuk pemilu yang ada di Indonesia.

Sedangkan untuk jangka panjang, selepas pemilu 2014 nanti, mahasiswa harus bersatu padu untuk memantik opini publik dalam mempersiapkan calon-calon baik untuk legislatif maupun presiden. Jangan kesannya kita latah, pemilu sudah di depan mata, tapi kita baru ramai dalam membicarakannya. Mahasiswa itu orang intelektual, setiap pergerakan dan perubahan itu harus ada konsep yang jelas agar tidak terkesan pragmatis. 

KM UII sendiri harusnya dari sekarang sudah mengajak mahasiswa untuk mulai konsen memikirkan pemilu. Paling tidak diadakan semacam diskusi kecil. Untuk UII sendiri tahun 2014 memang benar-benar sebagai tahun politik. Dari pilrek, pemilu, hingga pemilwa pun semua hadir di tahun ini. Nah, apakah UII mampu menyikapi tahun politik ini dengan benar? Mari kita simak bersama-sama kawan.

Semoga tulisan ini bermanfaat. Jika ada salah dalam pengutipan kata atau penulisan, harap maklum. Tabik!


Monday 24 February 2014

[Mau] Royal atau Loyal?*

Oleh: Moch. Ari Nasichuddin**

Fernandez terbangun dari tidur malamnya. Ia tergopoh-gopoh meraih handuk untuk mandi. Pagi ini ia mesti mengikuti ospek di UII Yogyakarta, kampus barunya. Sejak SMA, memang dia terkenal sebagai anak yang aktif. Ia pernah mengikuti OSIS, LDK, Pramuka. Dan ia termasuk siswa yang berprestasi pula. Pagi ini adalah hari pertama ia masuk dunia baru, yaitu sebagai mahasiswa. Ia tercatat sebagai mahasiswa jurusan Farmasi angkatan 2013. Tidak berbeda sewaktu duduk di bangku SMA, ia berambisi juga akan aktif mengikuti beberapa organisasi kampus ketika menjadi mahasiswa.
Hari pertama ospek, Fernandez mendaftar di Mapala Universitas. Ia memang suka dengan kegiatan alam. Sudah beberapa pendakian ia ikuti sewaktu SMA dulu. Keesokan harinya, pada ospek  hari kedua ia mendaftar di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Fakultas. Hari berganti hari, ospek universitas telah usai, ospek fakultas pun tiba. Pada hari pertama ospek fakultas ia mendaftar di Lembaga Dakwah Fakultas (LDF), pada hari kedua ospek fakultas ia mendaftar lagi di UKM Basket fakultas. Hingga hari ini Fernandez sudah tercatat mendaftar di 4 organisasi kampus. Terkesan muluk-mulukkah? Kita lihat saja nanti…
Novia adalah teman SMA Fernandez. Kebetulan dia kuliah di UII pula. Ia mendaftar di jurusan Teknik Sipil, dan diterima. Sama seperti Fernandez, Novia juga tergolong sebagai siswa aktif dulunya. Akan tetapi ia tidak mengikuti organsisasi sebanyak Fernandez. Menurutnya, siswa aktif tidak perlu mengikuti banyak organisasi. Sedikit organisasi pun sudah cukup, yang penting ia dapat berkontribusi optimal di dalamnya. Di bangku kuliah ini, ia hanya mendaftar di dua organisasi. Yaitu di LPM Fakultas dan Organisasi Ekstra Universitas. Perempuan ini memang mempunyai semangat dan prinsip yang tinggi. Ia tidak ‘bernafsu’ mengikuti banyak organisasi.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan. Fernandez dan Novia telah mengarungi hari-harinya sebagai mahasiswa, ups kurang! Mungkin lebih tepatnya sebagai aktivis mahasiswa. Berbeda ketika hari-hari pertama masuk kuliah, Fernandez kini kelihatan lesu, kucel dan kurang tidur. Kuliahnya tidak karuan. Hari-harinya dihabiskan dengan rapat redaksi di LPM F, latihan UKM, rapat LDF, kegiatan di Mapala, membuat laporan pratikum, dan seterusnya. Mungkin sehari-hari ia tidur hanya beberapa jam. Tidak jarang tugas kuliahnya pun terbengkalai.
Berbeda dengan Novia, meskipun tidak kalah padat seperti Fernandez, Novia masih bisa membagi waktu untuk berkegiatan di LPM F, Organisasi Ekstra, dan tak lupa kuliahnya. Meskipun waktu untuk bermainnya berkurang, dan tak jarang mata kurang tidur menghiasi wajah manisnya, ia tetap memegang teguh komitmennya di kehidupan mahasiswanya ini. Baginya sudah menjadi konsekuensi seorang aktivis mahasiswa untuk mengurangi zona nyaman.
Suatu ketika Fernandez dan Novia bertemu di kantin. “Pie Ndez Kabarmu?,” sapa Novia kepada teman SMA nya ini.
`        “Alhamdulillah…,” balas Fernandez kepada Novia dengan wajah lesu.
“Kamu aktif dimana saja teman?” Tanya Novia.
“Aku aktif di 3 organisasi kampus dan 1 organisasi universitas,” tukas Fernandez.
Wah, apa kamu tidak kelimpungan dengan organisasi sebanyak itu? Aku saja aktif di 2 organisasi sudah jarang tidur,” Tanya Novia lagi.
“Kelimpungan banget Via, apalagi kalau pas ada pratikum. Kayaknya aku mau keluar deh dari salah satu organisasi ini atau mungkin semuanya. Aku mau memperbaiki kuliahku dulu. Kalau kamu gimana?”
“Alhamdulillah, mesti sibuk aku masih bisa mengatur waktuku Ndez. Kuliahku berjalan lancar. Karena dari awal aku memang sudah komitmen. Aku tidak mau terlalu banyak mengikuti organisasi mahasiswa. Sedikit organisasi bagi sudah cukup, asal aku optimal menjalaninya.” Tegas Novia.
Cukup sudah kisah dua mahasiswa di atas. Info yang tersiar, Fernandez akhirnya keluar dari semua organisasi yang ia ikuti. Ambisinya untuk menjadi seorang yang aktif organisasi sama seperti di SMA tidak berjalan lancar, semua itu karena manajemen waktunya yang kacau. Berbeda dengan Novia, keteguhannya terhadap prinsip, tujuan, tanggungjawab dan semangatnya membawanya sukses di organisasi dan perkuliahan. Bahkan di organisasi ia memegang jabatan penting dan diperkuliahan ia mendapat IP yang cukup tinggi.
Dari kisah di atas, menurut teman-teman bagaimana? Mari kita diskusikan!

*Sekelumit kisah untuk Materi Kehimmahan In House Training LPM HIMMAH UII 2013

**Pemimpin Umum LPM HIMMAH UII 2013-2014, sedang menyelesaikan laporan Kerja Praktek dan menuju Tugas Akhir (doakan J). Pernah menjadi magang, pemimpin redaksi KOBARkobari, staf redaksi, redaktur pelaksana, dan penanggungjawab Himmah Online.

Sunday 23 February 2014

Pekih Kuwi yen Rupek yo Diokoh-okoh

Judul di atas saya dapat dari tulisan Akhmad Sahal yang baru saja saya baca beberapa menit yang lalu. Kalimat itu merupakan seloroh dari KH. Wahab Hasbullah yang mempunyai arti, fikih kalau memang dirasa menyempitkan yaa dibuat longgar.

Saya sepakat terhadap seloroh Kiai Wahab. Menurut saya memang di Indonesia ini kita mesti bijak dalam beragama. Dengan keberagaman yang ada Indonesia, akan menjadi berbahaya jika kita "serampangan" dalam menerapkan hukum Islam. Indonesia ini sangat majemuk saudara-saudara, dan menurut saya Islam sangat mendukung dengan kondisi yang ada saat ini.

Menurut Akhmad Sahal dalam opininya di Majalah Tempo, alih-alih memberangus tradisi lokal, hukum Islam harusnya mengakomodirnya. Fikih yang berlaku di Indonesia harusnya adalah "fikih indonesia", bukan "fikih arab". Contohnya seperti apa yang dilakukan Sunan Kalijaga, ia paham, jika menyebarkan Islam secara "utuh" di jawa kala itu maka akan menjadi penolakan dari masyarakat setempat. Maka dari itu ia mencoba menyinergikan tradisi lokal dengan hukum Islam. Dan akhirnya penduduk lokal pun menerimanya. 

Ada yang bilang kalau yang dilakukan Sunan Kalijaga itu sebagai bentuk pelencengan agama Islam karena mencampur adukan antara urusan agama dan nonagama. Menurut saya tidak. Karena, sesuai apa yang tulis di atas, Fikih yang berlaku di indonesia itu yaa fikih indonesia. Tapi muncul pertanyaan, berarti kalau kita sudah pindah tempat fikih yang digunakan berbeda lagi? Jawabannya yaa bisa jadi. Karena Islam adalah agama yang diperuntukan bagi seluruh alam, rahmatan lil 'alamin. Ditambah lagi budaya lokal di dunia ini berbeda-beda. So, semoga tulisan singkat ini bermanfat dan selamat datang di pribumisasi Islam.

Monday 27 January 2014

Inisiatif

Ketika kesadaran akan berinisiatif sudah sukar didapat, maka celakalah masa depan bangsa ini untuk kedepannya. Sesungguhnya mengabdikan diri kepada amanah lebih baik daripada mementingkan ego target belaka.
Dua kalimat di atas saya tulis pada akun facebook saya pukul 02.00 dini hari sebelum tidur di gelapnya malam.

Tuesday 21 January 2014

Gusar

Saya termasuk orang yang tidak bisa diam. Melihat sesuatu yang salah sebisa mungkin langsung saya koreksi, apalagi itu dilakukan berkali-kali. Seperti pagi ini ketika melihat tulisan laman online milik persma yang saya pimpin. Kualitas tulisan yang masih perlu ditingkatkan lagi membuat saya berkali-kali mesti menghela nafas. Tapi tak apalah, itu semua proses belajar. Saya pun juga pernah seperti itu dulu. Lambat laun semua akan baik dengan sendirinya. Sekian.