Oleh Moch. Ari
Nasichuddin
Desir angin menyeruak disekujur tubuh. Iringan
suara sepeda motor berlalu-lalang. Aroma tanah dan rumput liar mendominasi. Jalan
tidak begitu ramai. Bahkan cenderung sepi. Sesekali terlihat anak kecil
berboncengan naik sepeda. Kanan kiri jalan dihiasi dengan trotoar yang catnya
masih baru.
Di samping trotoar,
nampak sepeda onthel berwarna merah. Jok sepeda tersebut rusak. Catnya karatan,
bahkan terlihat sangat renta. Di bagian belakang sepeda terdapat kayu yang
sengaja diikatkan. Pemilik sepeda merah itu tak lain adalah seorang kakek. Ia
mengenakan kaos kuning, berlengan biru, dan memakai topi. Mengenakan celana
pendek berwarna hitam. Namanya adalah Kardi. Ia berdomisili di daerah Bencaran.
Tak
jauh dari sepeda merah milik Kardi bersandar, terlihat pematang sawah. Keadaan
sawah gersang. Banyak tanaman liar menghiasinya. Ada tanaman rumput gajah,
bayam, pisang, ketela. Akan tetapi, semua tanaman tadi itu tumbuh dengan liar.
Keadaan sawah sangat
sepi. Hanya ada dua orang yang terlihat disana. Salah satunya Kardi. Sawah
Kardi sudah lama tak terurus. Musim kemarau cukup mengganggu stabilitas
sawahnya. Biasanya disaat penghujan sawah Kardi ditanami padi. Sedangkan,
disaat kemarau biasanya ia menanami dengan kacang-kacangan. Namun, saat ini
sawah kardi hanya dipenuhi tanaman gulma.
Kardi disana bukan
untuk membajak, mengairi, maupun merawat sawah. Ia hendak mencari pakan
kambing.
“Pun dangu pak
jenengan ngarit dateng mriki?” tanya saya kepada Kardi.
“Sampun
mas, mpun dangu,”jawabnya.
Tidak disini saja
Kardi mencari rumput. Terkadang ia juga mencari di daerah lain. “Kadang-kadang kulo
dateng kulon mriko lek mboten lor mriko,” tutur Kardi sambil menunjukan arah
barat dan utara. Sebelumnya Kardi sudah mendapatkan satu babon rumput. Satu
babon sama halnya dengan satu karung. Tetapi satu babon tidaklah cukup untuk
memberi makan keempat kambingnya.
Umur Kardi 74 tahun.
Meski begitu, ia tetap tegap menyabit rumput liar. Wajah keriput, tubuh renta,
dan rambut beruban tak melumpuhkan kecekatannya. Sesekali ia menyingkirkan
keringat dari dahinya. Kardi mengatakan ia telah mempunyai lima anak. Semuanya
sudah mapan. Salah satu dari anaknya sudah bekerja sebagai tukang service di
daerah Sleman.
Jam menunjukan pukul
16.00, Kardi bergegas pulang. Rumput yang diperoleh tidak begitu banyak. Tetapi
wajah puas terpancar dari raut wajahnya.
“Mpun kesel mas,”
Ucap Kardi sembari tersenyum.
Satu babon rumput ia
kumpulkan. Ia mengikatnya kencang. Setelah diikat dinaikanlah rumput itu di
sepeda merah milik Kardi. Sebelum pergi, sembari tersenyum ia berpamitan kepada
saya. Saya pun membalas dengan melambaikan tangan.
No comments:
Post a Comment