Saturday 8 August 2015

Gerakan, Intelektual, dan Kehidupan


Berbicara tentang gerakan, perubahan sosial, bahkan revolusi merupakan hal yang menarik. Terkesan keren, dan mempunyai dampak sosial yang tinggi. Tapi bahkan ada yang sering dilupakan tentang apa yang menjadi syarat dari gerakan itu sendiri.

Baiklah mari kita bicara itu. Dalam setiap gerakan, serikat, organisasi pasti ada yang namanya visi dan misi. Kedua hal ini bisa kita namakan kepentingan, dan di balik kepentingan pasti ada yang namanya ideologi. Suatu pakem pemikiran perkumpulan tersebut dalam bergerak. Pertanyaannya apakah ada organisasi yang mempunyai visi dan misi tetapi tidak mempunyai ideologi? Bisa dijawab iya. Jika bagi mereka yang memahami suatu hal dikatakan ideologis jika mempunyai muatan kental akan ideologi kiri dan kanan. Namun menurut saya organisasi sesuai pertanyaan itu tetap saja berideologi. Ideologinya apa? Ya ideologinya tidak berideologi itu. Baik itu yang sifatnya urban atau hedon. Maka ada istilah urbanisme atau hodenisme. Isme di belakang punya arti paham. Jadi hedonisme bisa dimaknai dengan paham hedon atau ideologi hedon.

Saya menilai pada dasarnya organisasi adalah kebutuhan masyarakat. Dimana masyarakat merasa memang membutuhkan berserikat, berkumpul, bersatu untuk menjadi kuat. Kekuatan ini bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah atau bahkan merubah keadaan sosial. Jenis ideologi organisasi bisa dilihat dari masyarakat yang berkumpul membentuk organisasi tersebut. Jadi pada dasarnya berorganisasi bukan karena hanya mengisi waktu luang saja atau bahkan menambah CV. Organisasi adalah perwujudan dari keresahan yang ada dalam masyarakat.

Salah satu contohnya organisasi pada tingkat buruh. Sebagai contoh saya akan mencuplik dari buku John Ingleson berjudul Buruh, Serikat, dan Politik. Buku yang menceritakan geraka buruh pada medio 1920-1930an di Indonesia ini mengulas bagaimana kondisi gerakan buruh kala itu pasca pemberontakan PKI sekitar tahun 1917. Dimana efek dari pemberontakan pemerintah kolonial belanda menjadi semakin represif pada serikat, khususnya serikat yang bertujuan kemerdekaan Indonesia.

Pada tahun setelah 1920 gerakan buruh melakukan cara bagaimana menghidupkan kembali gerakan buruh sempat redup. Penghidupan ini seperti mengumpulkan potongan-potongan yang sudah tercerai berai karena memang sebelumnya kaum-kaum buruh sudah melakukan perkumpulan. Ini yang menarik, lantas bagaimana jika ingin membangun gerakan yang pada dasarnya belum ada gerakan sama sekali. Satu hal yang menurut saya perlu dilakukan adalah pendidikan politik. Ya, pendidikan, knp? Pendidikan sangat penting untuk menjadi alat masyarakat untuk memahami apa yang salah di sekitarnya. Pendidikan –mengutip Paulo Freire-- mesti berdasarkan pada penyelesaian masalah pada kondisi sekitar yang terjadi. Seperti kekeringan dan kasus eksploitasi. Pendidikan bukan berupa penjejalan ceramah dosen/guru terhadap. Freire menyebut ini sebagai pendidikan gaya bank. Dimana murid seolah menjadi buku tabungan untuk diisi ceramah guru. Jadinya murid akan bosen. Pendidikan gaya Freire ini menuntut siswa jangan dijadikan objek, tapi subjek.

Apakah pendidikan yang dimaksus di atas hanya dilakukan oleh pendidikan formal saja? Saya kira tidak. Apalagi jika ada yang menilai pendidikan formal sekarang cenderung kata Freire tadi, yakni mengamalkan pendidikan gaya bank, justru pendidikan non-formal harus menjadi alternatif anti-tesis tersebut. Taruhlah pendidikan non-formal macam ini seperti mengopi atau diskusi di warung kopi. Obrolan semacam ini saya perlu.

Usaha pendidikan politik selanjutnya adalah dengan media. Jika kontekskan kondisi sekarang media adalah alat efektif dalam melakukan hegemoni pada masyarakat. Menentukan publik opini dan mengarahkannya. Sayangnya media –mungkin sudah banya yang tahu-- sudah banyak dikuasai para pengusaha dan politisi. Imbasnya media tidak memberitakan sesuai hal ideal yang harus diketahui masyarakat tapi lebih ke kepentingan pengusaha dan politisi tersebut.


Mimpi dari pendidikan politik adalah tercipta tradisi intelektual yang kuat dalam tataran masyarakat. Sebut saja tradisi membaca. Angka sadar baca di masyarakat sangat berkaitan kualitas tindak tanduk masyarakat tersebut. Jika masyarakat masih mudah terprovokasi, gampang nurut jika ada politik praktis ini tandanya dia belum bisa menelaah dengan kemampuan intelektualnya. Karena memang dasarnya tradisi intelektual yakni membaca lemah. Kita contoh Jerman, dengan tradisi membaca yang kuat negeri ini dipandang sebagai “koordinator” Uni Eropa melalui kanselirnya Angela Merkel.


Kembali soal gerakan sosial. Gerakan sosial akan nihil tidak akan terjadi jika kondisi masyarakat masih kekurangan pendidikan politik yang mengarahkan perubahan revolusioner. Simpul pendidikan seperti kampus cenderung mengarahkan pendidikannya ke arah korporatif sebagai goal-nya. Pendidikan macam itu akan mempunyai peluang kecil dalam membentuk masyarakat yang kritis. Mudahnya adalah kehidupan itu bergerak, maka, akan menjadi keharusan jika kita selalu mengkritisi kehidupan dengan ilmu pengetahuan –yang sebagai kendaraan untuk hidup. Jika ilmu pengetahuan tidak mampu melakukan itu, akan ada pengaruh ke kehidupan kita yang tidak berkembang dan terbelakang.[] 

No comments:

Post a Comment