Berbicara
tentang gerakan, perubahan sosial, bahkan revolusi merupakan hal yang
menarik. Terkesan keren, dan mempunyai dampak sosial yang tinggi.
Tapi bahkan ada yang sering dilupakan tentang apa yang menjadi syarat
dari gerakan itu sendiri.
Baiklah
mari kita bicara itu. Dalam setiap gerakan, serikat, organisasi pasti
ada yang namanya visi dan misi. Kedua hal ini bisa kita namakan
kepentingan, dan di balik kepentingan pasti ada yang namanya
ideologi. Suatu pakem pemikiran perkumpulan tersebut dalam bergerak.
Pertanyaannya apakah ada organisasi yang mempunyai visi dan misi
tetapi tidak mempunyai ideologi? Bisa dijawab iya. Jika bagi mereka
yang memahami suatu hal dikatakan ideologis jika mempunyai muatan
kental akan ideologi kiri dan kanan. Namun menurut saya organisasi
sesuai pertanyaan itu tetap saja berideologi. Ideologinya apa? Ya
ideologinya tidak berideologi itu. Baik itu yang sifatnya urban atau
hedon. Maka ada istilah urbanisme atau hodenisme. Isme di belakang
punya arti paham. Jadi hedonisme bisa dimaknai dengan paham hedon
atau ideologi hedon.
Saya
menilai pada dasarnya organisasi adalah kebutuhan masyarakat. Dimana
masyarakat merasa memang membutuhkan berserikat, berkumpul, bersatu
untuk menjadi kuat. Kekuatan ini bisa digunakan untuk menyelesaikan
masalah atau bahkan merubah keadaan sosial. Jenis ideologi organisasi
bisa dilihat dari masyarakat yang berkumpul membentuk organisasi
tersebut. Jadi pada dasarnya berorganisasi bukan karena hanya mengisi
waktu luang saja atau bahkan menambah CV. Organisasi adalah
perwujudan dari keresahan yang ada dalam masyarakat.
Salah
satu contohnya organisasi pada tingkat buruh. Sebagai contoh saya
akan mencuplik dari buku John Ingleson berjudul Buruh, Serikat, dan
Politik. Buku yang menceritakan geraka buruh pada medio 1920-1930an
di Indonesia ini mengulas bagaimana kondisi gerakan buruh kala itu
pasca pemberontakan PKI sekitar tahun 1917. Dimana efek dari
pemberontakan pemerintah kolonial belanda menjadi semakin represif
pada serikat, khususnya serikat yang bertujuan kemerdekaan Indonesia.
Pada
tahun setelah 1920 gerakan buruh melakukan cara bagaimana
menghidupkan kembali gerakan buruh sempat redup. Penghidupan ini
seperti mengumpulkan potongan-potongan yang sudah tercerai berai
karena memang sebelumnya kaum-kaum buruh sudah melakukan perkumpulan.
Ini yang menarik, lantas bagaimana jika ingin membangun gerakan yang
pada dasarnya belum ada gerakan sama sekali. Satu hal yang menurut
saya perlu dilakukan adalah pendidikan politik. Ya, pendidikan, knp?
Pendidikan sangat penting untuk menjadi alat masyarakat untuk
memahami apa yang salah di sekitarnya. Pendidikan –mengutip Paulo
Freire-- mesti berdasarkan pada penyelesaian masalah pada kondisi
sekitar yang terjadi. Seperti kekeringan dan kasus eksploitasi.
Pendidikan bukan berupa penjejalan ceramah dosen/guru terhadap.
Freire menyebut ini sebagai pendidikan gaya bank. Dimana murid seolah
menjadi buku tabungan untuk diisi ceramah guru. Jadinya murid akan
bosen. Pendidikan gaya Freire ini menuntut siswa jangan dijadikan
objek, tapi subjek.
Apakah
pendidikan yang dimaksus di atas hanya dilakukan oleh pendidikan
formal saja? Saya kira tidak. Apalagi jika ada yang menilai
pendidikan formal sekarang cenderung kata Freire tadi, yakni
mengamalkan pendidikan gaya bank, justru pendidikan non-formal harus
menjadi alternatif anti-tesis tersebut. Taruhlah pendidikan
non-formal macam ini seperti mengopi atau diskusi di warung kopi.
Obrolan semacam ini saya perlu.
Usaha
pendidikan politik selanjutnya adalah dengan media. Jika kontekskan
kondisi sekarang media adalah alat efektif dalam melakukan hegemoni
pada masyarakat. Menentukan publik opini dan mengarahkannya.
Sayangnya media –mungkin sudah banya yang tahu-- sudah banyak
dikuasai para pengusaha dan politisi. Imbasnya media tidak
memberitakan sesuai hal ideal yang harus diketahui masyarakat tapi
lebih ke kepentingan pengusaha dan politisi tersebut.
Mimpi
dari pendidikan politik adalah tercipta tradisi intelektual yang kuat
dalam tataran masyarakat. Sebut saja tradisi membaca. Angka sadar
baca di masyarakat sangat berkaitan kualitas tindak tanduk masyarakat
tersebut. Jika masyarakat masih mudah terprovokasi, gampang nurut
jika ada politik praktis ini tandanya dia belum bisa menelaah dengan
kemampuan intelektualnya. Karena memang dasarnya tradisi intelektual
yakni membaca lemah. Kita contoh Jerman, dengan tradisi membaca yang
kuat negeri ini dipandang sebagai “koordinator” Uni Eropa melalui
kanselirnya Angela Merkel.
Kembali
soal gerakan sosial. Gerakan sosial akan nihil tidak akan terjadi
jika kondisi masyarakat masih kekurangan pendidikan politik yang
mengarahkan perubahan revolusioner. Simpul pendidikan seperti kampus
cenderung mengarahkan pendidikannya ke arah korporatif sebagai
goal-nya. Pendidikan macam
itu akan mempunyai peluang kecil dalam membentuk masyarakat yang
kritis. Mudahnya adalah kehidupan itu bergerak, maka, akan menjadi
keharusan jika kita selalu mengkritisi kehidupan dengan ilmu
pengetahuan –yang sebagai kendaraan untuk hidup. Jika ilmu
pengetahuan tidak mampu melakukan itu, akan ada pengaruh ke kehidupan
kita yang tidak berkembang dan terbelakang.[]
No comments:
Post a Comment