Thursday 17 December 2015

Menarik Kembali Media ke Tangan Publik


Oleh: Moch. Ari Nasichuddin

Sejarah keterlibatan pemuda dalam dunia media sudah ada sejak lama. Sudah terjadi sejak zaman kolonial. Media yang dikelola pemuda kala itu berisi pikiran-pikiran pemuda akan kondisi nusantara yang masih dirundung kemiskinan, angka buta huruf tinggi, hingga tanam paksa karena efek penjajahan. Media yang masih berwujud koran digunakan pemuda dan masyarakat untuk mengeluarkan dan mengekspresikan pikiran mereka. Koran-koran ini menjadi ruang dialog pemikiran dan menjadi ruang mengkritik pemerintah kolonial.

Sosok Tirto Adi Suryo yang oleh Pram diceritakan sebagai seorang Minke dalam novel Bumi Manusia menunjukkan bagaimana kegiatan jurnalistik menjadi faktor penting dalam gerakan. Tirto menjadikan media yang ia gawangi sebagai penyambung pemikiran aktivis yang saat itu masih berjalan sendiri-sendiri di daerah. Media ini menunjukkan keberpihakan yang jelas: memprovokasi rakyat agar bangun dan bergerak merebut kemerdekaan.

Mendekati kemerdekaan media yang dikelola pemuda berfungsi sebagai alat propaganda masyarakat. Berkoar-koar bahwa kemerdekaan harus direbut, kemerdekaan menjadi hak bangsa Indonesia. Dan kemerdekaan pun digenggam tangan bangsa Indonesia.

Pada pemerintahan soekano posisi media pemuda masih vital. Pemuda melalui media mengutarakan perspektif mereka tentang bagaimana republik yang masih muda itu dibangun. Setiap media mempunyai ideologi/arah gerak masing-masing. Dari yang islam, komunisme, marhaenisme, dan isme-isme yang lain. Organisasi pemuda di setiap partai mempunyai media sendiri untuk melakukan propaganda. Tak jarang ajang “serang” pemikiran pun terjadi. Itulah dinamika.

Arus gerak media yang dikelola pemuda/mahasiswa juga turut dipengaruhi kemana arus gerakan mahasiswa kala itu. Menjelang tahun 65 ke atas mahasiswa mengkritik keras pemerintahan Soekarno. Mahasiswa dan media mahasiswa pun turut ikut andil pada masa lengsernya kala itu.

Memasuki era Soeharto posisi gerakan mahasiswa yang tadinya mendukung Orde Baru berbalik arah mengkritik keras pemerintahan itu. Selama Orde Baru berkuasa naik turun gerakan mahasiswa khususnya pers mahasiswa terjadi. Pemerintah Orde Baru yang mempunyai pendekatan militer melakukan pembredelan terhadap persma. Hal ini karena persma sangat mengkritik keras pemerintahan Orde Baru yang berpihak ke barat, korupsi, nepotisme, hingga melanggar HAM.

Ketika masa orde baru media profesional pun juga turut terkena bredel. Terlebih lagi kala itu untuk membuat suatu media diperlukan izin dari departemen penerangan. Dengan prosedur ini Orde Baru melakukan filter (baca: pengendalian) pertumbuhan media di Indonesia.

Orde Media
Selepas Orde Baru usai, perkembangan media semakin menggila. Surat izin penerbitan yang sebelumnya menjadi syarat utama mendirikan media sudah dihapus. Media-media pun lahir dengan sendirinya.
Pasca Orde Baru ini juga kita diperlihatkan perkembangan media sosial yang dahsyat. Ditambah lagi munculnya perangkat telpon pintar yang berisi berbagai macam perangkat lunak untuk berkomunikasi. Lalu lintas informasi semakin mudah dan bahkan tidak terkendali.

Dalam buku berjudul Blur, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang sebelumnya menulis buku Sembilan Elemen Jurnalisme mengenalkan istilah Tsunami Informasi. Istilah itu menunjukkan bahwa era sekarang informasi semakin banyak dan tak terkendali. Untuk itu seiring terbitnya buku Blur itu, Bill Kovach dan Tom Rosentiel menambahkan satu elemen lagi dari sembilan elemen yang sudah ada sebelumnya. Elemen tambahan ini menuntut warga turut bertanggungjawab juga atas informasi yang beredar dan diedarkan oleh warga sendiri. Tanggungjawab menuntut warga lebih cerdas dalam memilah informasi. Tidak saja langsung mempercayai, namun juga mempelajari keberimbangan berita yang ia baca. Dan sekiranya itu ada kesalahan, warga mesti melaporkan ke media bersangkutan agar berbenah diri.

Istilah Orde Media didapati penulis dari buku berjudul Orde Media yang diterbitkan atas kerjasama Remotivi dan INSISTPress. Buku Orde Media mengatakan setelah Orde Baru kepemilikan media jatuh di tangan oligarki yang menguasai industri media melalui kapital yang ia miliki. Tercatat media-media dimiliki individu yang ternyata juga sebagai politisi elit yang meramaikan blantika perpolitikan Indonesia. Taruhlah Surya Paloh dengan Metro TV dan Media Indonesia. Abu Rizal dengan TV One. Dan Dahlan Iskan dengan Jawa Pos-nya.

Dalam buku Orde Media dikatakan media-media seperti televisi masih menjadi favorit dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi riskan karena media ini turut membentuk pemikiran dan persepsi publik terhadap suatu isu. Otomatis ungkapan jika ingin menguasai sesuatu kuasailah media dapat dibenarkan, karena ketika media sudah dikendalikan maka secara tidak langsung juga turut mengendalikan opini publik.

Masyarakat Peduli Media (MPM) mengeluarkan buku berisi hasil penelitiaannya terhadap media yang dimiliki oleh politisi yang partainya ikut dalam Pemilu 2014 berjudul Media Terpenjara. Hasilnya diantaranya ada kecenderungan media yang dimiliki politisi itu melakukan “kampanye tersembunyi” untuk partai dari pemiliknya. Selain itu bentuk bingkai berita di dalamnya juga disesuaikan dengan kepentingan pemilik dari media tersebut. Jika ada kasus yang dinilai membahayakan kepentingan politik atau usaha yang pemilik, maka sebisa mungkin media itu tidak memberitakannya atau mungkin tetap memberitakan namun dengan wujud yang lebih “halus”.

Permasalahan media di atas merupakan wujud jika mengalami privatisasi. Kecenderungan pemberitaan media sangat dipengaruhi kapital yang dimiliki oleh pemiliknya. Sehingga media yang harusnya memberitakan kebenaran dan berpihak ke warga sesuai butir Sembilan Elemen Jurnalisme menjadi nihil.

Padahal ketika iklim informasi serba bebas seperti saat ini harusnya dibarengi kualitas jurnalisme yang bermutu. Jurnalisme mendalam yang berdasarkan riset kuat sekarang sangat dicari.

Kepemilikan tunggal media oleh politisi dan pengusaha, informasi yang membludak, media yang kurang memperhatikan norma-norma etika jurnalistik menjadi potret buram media masa kini. Lantas bagaimana ini bisa diubah?

Tawaran Memanajemen Media dengan Konsep Kooperasi
Pada tahun 2012, Dave Boyle menulis naskah berjudul Good News: A Co-operative Solustions to The Media Crisis. Dalam versi Indonesia-nya naskah ini diterbitkan dalam buku berjudul Media Kooperasi & Kooperasi Media (MKKM). MKKM menawarkan solusi atas permasalahan media yang sudah penulis uraikan di atas dengan jalan kooperasi. Konsep kooperasi dikenal dengan suatu sistem yang mendasarkan diri dengan kepemilikan bersama dan kerjasama antaranggota. Dalam konteks media, anggota kooperasi atau bisa kita sebut masyarakat menjadi pemilik bersama dari suatu media. Dengan kondisi ini kepentingan pemberitaan media dapat dikontrol dan sesuai kepentingan masyarakat.

Diluar itu dalam kualitas berita pun, media kooperasi dapat lebih terkendali karena pemilik-pemilik media ini mengontrol penuh kualitas dari isi konten berita. Tak hanya itu saja, media kooperasi memberikan kebebasan pada setiap pemiliknya untuk mengekspresikan pemikirannya dalam sebuah karya. Tanpa ada filter politik yang biasa terjadi media privat. Konsep media dengan kooperasi sebagai sistemnya sudah ada di beberapa negara. Sebut saja La Diaria di Uruguay dan Tageszeitung di Jerman. Konsep media kooperasi dapat menjadi tawaran dan usaha mengambil kembali media yang seharusnya menjadi milik publik dari tangan kepentingan politisi dan pengusaha. Atau ada solusi lain?[]

* Tulisan ini menjadi pemantik diskusi dalam Training Jurnalistik HMI MPO FH UII dan diskusi Media dan Jurnalisme di PMII Komisariat Wahid Hasyim UII.

Sumber bacaan:
Boyle, D. 2013. Media Kooperasi & Kooperasi Media. Yogyakarta: INSISTPress dan Gerakan Literasi Indonesia (GLI).
Wicaksono, A. P., dkk. 2015. Media Terpenjara: Bayang-bayang Pemilik dalam Pemberitaan Pemilu 2014. Yogyakarta: Masyarakat Pedul Media (MPM) dan TIFA.
Arief, Yovantra dan Utomo, Wisnu Prasetya. 2015. Orde Media: Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru. Yogyakarta: InsistPress dan Remotivi.
Burhan, F.A. 2015. “Hilangnya Koperasi di Ranah Kurikulum Universitas.” Himmah Online 10 Februari. Diakses pada 29 Oktober 2015. http://lpmhimmahuii.org/2015/02/hilangnya-koperasi-di-ranah-kurikulum-universitas/.

Pereira, Marcelo. 2015. “Media Kooperasi la diaria Uruguay: 'Mereka Bertahan di sini Karena Mereka Merdeka'”. Literasi.co 6 Juni 2015. Diakses 10 Desember 2015. http://literasi.co/media-kooperasi-la-diaria-uruguay-mereka-bertahan-karena-di-sini-mereka-merdeka/

No comments:

Post a Comment