Tulisan
ini saya buat bersaman dengan momen berakhirnya masa-masa aktif sebagai aktivis pers mahasiswa dan Keluarga Mahasiswa UII. Banyak pengalaman yang menurut saya
perlu dicatat agar bisa menjadi refleksi dan ditindaklanjuti oleh kawan-kawan
penerus saya di persma se-UII dan KM UII.
Pada
saat tulisan ini diketik beberapa hari lagi KM UII akan menyelenggarakan
pemilihan wakil mahasiswa (pemilwa). Beberapa orang pasti heran dan memunculkan
pertanyaan, “Kok sudah pemilwa saja?”. Dari sini saya berpikir pertanyaan itu
muncul karena beberapa mahasiswa melihat KM tidak mempunyai dinamika yang dapat
dirasakan oleh mahasiswa. Kinerja yang dilakukan oleh legislatif dan eksekutif
tidak punya efek kepada arah gerak mahasiswa UII.
Dari
sini izinkan saya sedikit menganalisis masalah yang ada di KM UII. Pertama
terkait masalah budaya inteletual. Atau kongkritnya budaya membaca dan diskusi.
Sudah sejauh mana mahasiswa kita melakukan itu? Budaya ini amat penting karena
mempengaruhi beberapa aspek seperti, mental dan wacana. Pertama adalah mental.
Mental mahasiswa sering melakukan aktivitas intelektual akan lebih kuat
daripada yang tidak sama sekali melakukan aktivitas tersebut. Tidak akan
mahasiswa yang cengeng dan menyerah pada sistem yang menindasnya. Kedua adalah
wacana atau pengetahuan. Mahasiswa yang sering melakukan aktivitas inetelektual
akan mempunyai wawasan luas dan akan mampu membaca situsasi sosial yang
timpang.
Realita
yang ada tidak semua mahasiswa UII melakukan itu. Ditambah lagi sistem
pendidikan yang sangat mendorong mahasiswa hanya berkutat dan asyik kepada
aktivitas akademik. Wacana kuliah 5 tahun dari pemerintah membuat mahasiswa
latah untuk cepat-cepat kuliah dan lulus. Padahal mahasiswa yang aktif di
organisasi tetap bisa kuliah di bawah 5 tahun!
Menurut hemat penulis
dua hal yang mestinya harus ditangani oleh KM UI. Pertama masalah budaya
intelektual, kedua kapitalisme—dalam hal ini kapitalisasi pendidikan. Masalah
pertama harus dibenahi dahulu karena berkaitan dengan kemauan mahasiswa untuk
bergerak. Jika wacana tidak ada, bagaimana mau bergerak (baca:berlembaga)? Jika
aktivitas intelektual sudah dirasa siap, giliran kapitalisasi pendidikan yang
dihajar. Perihal kapitalisme inilah yang membuat ketimpangan di sekeliling
kita, khususnya pendidikan. Bagaimana pendidikan mau merubah kondisi masyarakat
semakin baik jika yang boleh menuntut ilmu hanya orang berduit sebagai
konsekuensi pendidikan mahal?
Komunikasi
antarelemen
Penulis memetakan orang-orang yang terlibat di
KM UII terbelah menjadi dua golongan. Elemen mahasiswa yang aktif di
organekstra dan non organekstra. Ketika pemilwa—bahkan tak jarang ketika
pemerintahan sudah berjalan— isu sentimen golong pasti menjadi bumbu manis.
Okelah kalau perbedaan ini perihal ideologis bukan menjadi suatu masalah, namun
kalau hanya karena sentimen organisasi itu malah merugikan KM UII sendiri. KM
akan selalu berkutat pada masalah internal mereka. Padahal hakikat adanya
pemerintahan mahasiswa seperti KM ini adalah sebagai wadah agar mahasiswa
peduli dan kritis terhadap masalah di sekelilingnya, baik itu kondisi di daerah
maupun di negara. Semangat persatuan dan kesatuan di KM tidak akan ada jika ego
sentimen itu tetap ada.
Untuk itu komunikasi
antarelemen sebagai upaya konsiliasi harus dilakukan agar KM bisa bersatu.
Sekarang, jika kedua belah pihak masih berselisih lantas siapa yang membenahi
kedua masalah fundamental yang penulis paparkan di atas? Masalah itu memang
bukan hanya milik KM UII saja tapi juga milik mahasiswa seluruh indonesia.
Untuk itu, jika KM mampu berkonsiliasi, kedepan KM harus berkomunikasi antar
gerakan kampus yang ada di Jogja bahkan Indonesia.
Semoga tulisan sedikit
ini bermanfaat.
komunikasi antar elemen, antar golongan. sepakat mas... rekonsiliasi jadi kunci.
ReplyDeleteKapan ya dibuka ruang itu bung kira2?
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete