Tuesday 10 March 2015

Meraih Perubahan dengan Berkomunkasi

            Tulisan ini saya buat bersaman dengan momen berakhirnya masa-masa aktif sebagai aktivis pers mahasiswa dan Keluarga Mahasiswa UII. Banyak pengalaman yang menurut saya perlu dicatat agar bisa menjadi refleksi dan ditindaklanjuti oleh kawan-kawan penerus saya di persma se-UII dan KM UII.
            Pada saat tulisan ini diketik beberapa hari lagi KM UII akan menyelenggarakan pemilihan wakil mahasiswa (pemilwa). Beberapa orang pasti heran dan memunculkan pertanyaan, “Kok sudah pemilwa saja?”. Dari sini saya berpikir pertanyaan itu muncul karena beberapa mahasiswa melihat KM tidak mempunyai dinamika yang dapat dirasakan oleh mahasiswa. Kinerja yang dilakukan oleh legislatif dan eksekutif tidak punya efek kepada arah gerak mahasiswa UII.
            Dari sini izinkan saya sedikit menganalisis masalah yang ada di KM UII. Pertama terkait masalah budaya inteletual. Atau kongkritnya budaya membaca dan diskusi. Sudah sejauh mana mahasiswa kita melakukan itu? Budaya ini amat penting karena mempengaruhi beberapa aspek seperti, mental dan wacana. Pertama adalah mental. Mental mahasiswa sering melakukan aktivitas intelektual akan lebih kuat daripada yang tidak sama sekali melakukan aktivitas tersebut. Tidak akan mahasiswa yang cengeng dan menyerah pada sistem yang menindasnya. Kedua adalah wacana atau pengetahuan. Mahasiswa yang sering melakukan aktivitas inetelektual akan mempunyai wawasan luas dan akan mampu membaca situsasi sosial yang timpang.
            Realita yang ada tidak semua mahasiswa UII melakukan itu. Ditambah lagi sistem pendidikan yang sangat mendorong mahasiswa hanya berkutat dan asyik kepada aktivitas akademik. Wacana kuliah 5 tahun dari pemerintah membuat mahasiswa latah untuk cepat-cepat kuliah dan lulus. Padahal mahasiswa yang aktif di organisasi tetap bisa kuliah di bawah 5 tahun!
Menurut hemat penulis dua hal yang mestinya harus ditangani oleh KM UI. Pertama masalah budaya intelektual, kedua kapitalisme—dalam hal ini kapitalisasi pendidikan. Masalah pertama harus dibenahi dahulu karena berkaitan dengan kemauan mahasiswa untuk bergerak. Jika wacana tidak ada, bagaimana mau bergerak (baca:berlembaga)? Jika aktivitas intelektual sudah dirasa siap, giliran kapitalisasi pendidikan yang dihajar. Perihal kapitalisme inilah yang membuat ketimpangan di sekeliling kita, khususnya pendidikan. Bagaimana pendidikan mau merubah kondisi masyarakat semakin baik jika yang boleh menuntut ilmu hanya orang berduit sebagai konsekuensi pendidikan mahal?
Komunikasi antarelemen
 Penulis memetakan orang-orang yang terlibat di KM UII terbelah menjadi dua golongan. Elemen mahasiswa yang aktif di organekstra dan non organekstra. Ketika pemilwa—bahkan tak jarang ketika pemerintahan sudah berjalan— isu sentimen golong pasti menjadi bumbu manis. Okelah kalau perbedaan ini perihal ideologis bukan menjadi suatu masalah, namun kalau hanya karena sentimen organisasi itu malah merugikan KM UII sendiri. KM akan selalu berkutat pada masalah internal mereka. Padahal hakikat adanya pemerintahan mahasiswa seperti KM ini adalah sebagai wadah agar mahasiswa peduli dan kritis terhadap masalah di sekelilingnya, baik itu kondisi di daerah maupun di negara. Semangat persatuan dan kesatuan di KM tidak akan ada jika ego sentimen itu tetap ada.
Untuk itu komunikasi antarelemen sebagai upaya konsiliasi harus dilakukan agar KM bisa bersatu. Sekarang, jika kedua belah pihak masih berselisih lantas siapa yang membenahi kedua masalah fundamental yang penulis paparkan di atas? Masalah itu memang bukan hanya milik KM UII saja tapi juga milik mahasiswa seluruh indonesia. Untuk itu, jika KM mampu berkonsiliasi, kedepan KM harus berkomunikasi antar gerakan kampus yang ada di Jogja bahkan Indonesia.

Semoga tulisan sedikit ini bermanfaat.

3 comments:

  1. komunikasi antar elemen, antar golongan. sepakat mas... rekonsiliasi jadi kunci.

    ReplyDelete
  2. Kapan ya dibuka ruang itu bung kira2?

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete