Sunday 23 February 2014

Pekih Kuwi yen Rupek yo Diokoh-okoh

Judul di atas saya dapat dari tulisan Akhmad Sahal yang baru saja saya baca beberapa menit yang lalu. Kalimat itu merupakan seloroh dari KH. Wahab Hasbullah yang mempunyai arti, fikih kalau memang dirasa menyempitkan yaa dibuat longgar.

Saya sepakat terhadap seloroh Kiai Wahab. Menurut saya memang di Indonesia ini kita mesti bijak dalam beragama. Dengan keberagaman yang ada Indonesia, akan menjadi berbahaya jika kita "serampangan" dalam menerapkan hukum Islam. Indonesia ini sangat majemuk saudara-saudara, dan menurut saya Islam sangat mendukung dengan kondisi yang ada saat ini.

Menurut Akhmad Sahal dalam opininya di Majalah Tempo, alih-alih memberangus tradisi lokal, hukum Islam harusnya mengakomodirnya. Fikih yang berlaku di Indonesia harusnya adalah "fikih indonesia", bukan "fikih arab". Contohnya seperti apa yang dilakukan Sunan Kalijaga, ia paham, jika menyebarkan Islam secara "utuh" di jawa kala itu maka akan menjadi penolakan dari masyarakat setempat. Maka dari itu ia mencoba menyinergikan tradisi lokal dengan hukum Islam. Dan akhirnya penduduk lokal pun menerimanya. 

Ada yang bilang kalau yang dilakukan Sunan Kalijaga itu sebagai bentuk pelencengan agama Islam karena mencampur adukan antara urusan agama dan nonagama. Menurut saya tidak. Karena, sesuai apa yang tulis di atas, Fikih yang berlaku di indonesia itu yaa fikih indonesia. Tapi muncul pertanyaan, berarti kalau kita sudah pindah tempat fikih yang digunakan berbeda lagi? Jawabannya yaa bisa jadi. Karena Islam adalah agama yang diperuntukan bagi seluruh alam, rahmatan lil 'alamin. Ditambah lagi budaya lokal di dunia ini berbeda-beda. So, semoga tulisan singkat ini bermanfat dan selamat datang di pribumisasi Islam.

No comments:

Post a Comment