Thursday 27 February 2014

Pemilu Sudah Didepan Mata, Bagaimana Mahasiswa Harus Menyikapinya?

     "Beri aku 10 Pemuda, Maka Akan Kuguncangkan Dunia!" -Soekarno
Kemarin pagi (27/2) saya mendatangi diskusi di Universitas Muhamadiyah Yogyakarta (UMY). Diskusi ini bertema, "Transisi Pemilu Melalui PEMILU 2014: Urgen atau Tidak?". Acara ini dihadiri oleh organisasi pergerakan mahasiswa seperti, Kammi, IMM, HMI DIPO, HMI MPO, Sekber, SOPINK, Pembebasan. Saya akan mengulas secara urut jalannya diskusi biar kawan-kawan bisa ikut menyimak dengan membaca tulisan ini.

Diskusi yang dimoderatori oleh Eko Prasetyo ini dibuka oleh pernyataan dari BEM Fisip UMY. Mereka mengatakan kalau Indonesia tidak mempunyai kedaulatan sejak zaman Soekarno hingga SBY. Berlanjut ke Kammi, kita termasuk orang optimis atau pesimis. Pada masa Soekarno, ia terpilih bukan dari sistem tapi dari konflik poltik. Rezim Soeharto lahir dari sistem militer yang saat itu sangat kuat. Politik baru secara konstitusional lahir semenjak zaman Habibie. Pada masa reformasi sekarang, korupsi sudah menjamur di lembaga-lembaga tinggi negara. Tetapi terlepas itu semua, Kammi memandang poltik itu penting.

Beranjak ke SOPINK. Transisi adalah seremonial di era pasca reformasi. Dimana demokrasi tidak hanya karena pemilu. Tapi tinggal bagaimana frame dari politik Indonesia. Urgent atau tidak, kita tetap memilih. Ketika giliran Sekber, mereka mengkritisi tema diskusi terlalu subjektif. Kegagalan dari tahun '98 adalah tidak adanya konsep yang menelurkan figur. Yang mana figur itu nantinya akan menjadi calon-calon alternatf.

HMI DIPO menyatakan kita tidak memungkiri bahwa akan membicarakan sosok dalam diskusi ini. Transisi kepimpinan mereka pandang sangat urgent. Tapi sebelumnya pemilu ini penting bagi siapa? Takutnya ini hanya penting bagi golongan-golongan tertentu saja.

Kami kebingungan terkait urgent atau tidak. Dan kami tidak mau mengarahkan itu penting atau tidak, demikian yang dituturkan HMI MPO. Tapi harusnya bagaimana mahasiswa berpartisipasi saat pemilu. Pemilu sendiri bisa dilihat dalam 2 hal; pertama dalam hal transaksional, kedua mendorong dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. 

Dari Pembebasan saya tidak begitu mendengar karena masalah soundsystem. Sepenangkapan saya mereka menyatakan pemilu tidak urgent.  Berganti ke IMM. Merujuk pada tema, fokus diskusi berarti kepada pemilunya. Pemilu itu hadir pada alam demokrasi. Kalau memang dirasa penting, terus bagaimana kita menghindari pemilu? Pemilu adalah alat yang kita sepakati untuk transisi kepimpinan. Secara prosedural itu sudah benar. Jadi pemilu itu penting karena sudah di depan mata kita. Akan tetapi tetap kita tidak bisa menelan mentah-mentah, tetap kita mesti memantau substansinya.

Setelah perwakilan dari masing-masing organsasi berbicara, kini giliran audiens yang memberikan tanggapan. Penanya mengatakan gerakan mahasiswa harus bergerak terkait pemilu tahun ini. Beralih ke penanya kedua bernama Sona, ia mengatakan kalau kawan-kawan organisasi pergerakan analisisnya kurang dalam.  
Romi Maulana dari FH UMY angkatan 2013 menyatakan kepimpinan terlalu lama dapat menyebabkan rasa senioritas. Pemilu ini sangat urgent. Dengan berapi-api ia menegaskan kita sebagai mahasiswa menurut Tan Malaka harta paling penting adalah idealisme. Kita sebagai mahasiswa harus bisa membela kebijakan. Kita tidak perlu takut pemimpin yang salah, rakyat lebih ganas dari pemimpin yang ganas.

BEM Fisip memberikan tanggapan. Dari judul BEM Fisip ingin melihat mana perubahan-perubahan yang dicanangkan dari setiap organ pergerakan. Mereka menuturkan, kita sebagai mahasiswa adalah sebagai infrastruktur. Jadi mau siapapun yang jadi anggota DPR kalau sudah memenuhi syarat menurut UU itu tidak menjadi masalah. 

Pergerakan mahasiswa harus menjaga idealismenya. Dalam momentum 2014, kita akan menjadi controller. Dalam mengambil keputusan secara formal kita memang tidak ikut tapi kita bisa mengontrolnya. Menurut perspektif Islam, Indonesia ini sangat Islam sekali. Nabi mengatakan sebaik-baiknya perkataan adalah perkataan yang membenarkan sesuatu yang salah. Golput itu tidak bisa menjadi solusi, oleh karena itu kita harus partisipasi dalam pemilu. Demikian yang dikatakan HMI MPO ketika gilirannya

Salah satu mahasiswa FAI UMY mengatakan lagi kalau tema diskusi ini terlalu sempit. Ia mempertanyakan kenapa bisa organ-organ pergerakan membiarkan kroni Soeharto memimpin Indonesia lagi. Ini sudah tidak terkendali ketika pemilu diselenggarakan. Menurutnya, teman-teman organ pergerakan terlalu -maaf- goblok. Jadi, mahasiswa sekarang menjadi agent of goblokAudiens lagi bernama Lubis mengatakan secara sistem pemilu itu penting tetapi esensi tidak penting. Alasannya karena mahasiswa tahu parpol itu memang sudah tidak benar.

Sekber angkat bicara. Bicara demokrasi memang konsepnya dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Tapi mesti kita garis bawahi kalau mereka tidak punya integritas dalam memimpin. Lantas, apa kita biarkan mereka memimpin? Mahasiswa itu sebagai agent of pelopor. Kalau dalam saat ini kita tidak memilih, terus bagaimana lagi? 

Kammi tidak mau ketinggalan. Demokrasi itu adalah kado dari liberalisme. Masyarakat harus sebagai single society. Mahasiswa harusnya banyak dikirim ke pelosok untuk menyadarkan masyarakat. Kammi sendiri sudah punya program yang menyasar pemilih pemula bernama: gerakan 5 menit. Golput memang pilihan dalam dunia demokrasi. Setiap pemilu angka pemilihan menurun. Dan selama ini kita tidak pernah bicara soal parpol, sedangkan seharusnya kita harus tahu data-data soal parpol. Kalau kita golput, kita sama saja memberikan wakil ke orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

Ditengah diskusi Eko Prasetyo mengatakan pemogokan itu adalah hal biasa. Jangan sekali-sekali mengadili posisi nalar. Tapi kita bahas posisi politik. Sebenarnya ada tidak sih hubungan mahasiswa parpol dengan mahasiswa? Janganlah jadi oportunis semenjak mahasiswa.

Krisnantop, salah satu peserta diskusi menanggapi, kita harus memilih setan-setan kecil daripada setan-setan besar. Ia pun mengkritisi gerakan mahasiswa. Menurutnya gerakan mahasiswa tidak mampu menggerakkan sistem. Harusnya kita bukan saja berpatokan terhadap sistem yang ada, tapi lebih bagaimana kita memberikan sistem yang benar. Ada riset yang mengatakan gerakan mahasiswa menjadi perpanjangan tangan partai politik. Sistem yang selama ini ada mendidik untuk menghamba pada kekuasaan. Pendidikan tidak hanya untuk menjadi cendikiawan saja, tapi punya rasa moral pula. 

Kembali kepada SOPINK memberikan sikap, permasalahannya itu bukan di golput nya tapi karena tidak adanya transisi di setiap pemilu sehingga tidak ada perubahan. Ketika kita golput apa yang akan kita lakukan? Harusnya organ pergerakan itu memanfaatkan perbedaan ideologi antara organ satu dengan organ yang lain.

Berbeda dengan SOPINK, HMI DIPO beranggapan transisi itu ada meskipun secara real tidak ada perubahan. Kalau melihat golput, di luar sana masyarakat banyak yang memilih golput karena tidak percaya akan perwakilan. HMI DIPO mempertegas diri bahwa mereka tidak hanya berwacana tapi turut diikuti turun bersama untuk perubahan. Mereka menambahkan bahwa tidak bisa dipungkiri kalau peran mahasiswa sangat penting. Tapi mereka juga mengakui kalau gerakan mahasiswa mengalami kemunduran. Oleh karena itu HMI DIPO mengingatkan kalau mahasiswa mesti lekas berbenah.

Pembebasan memberikan tanggapan, menurut mereka mahasiswa ini punya kepentingan untuk siapa? Mahasiswa bisa berperan pada borjuis, dan bisa juga pada proletar. Langkah kongritnya, alahkah baiknya kita protes dengan mendatangi TPS dan kita tuliskan tuntutan ke surat suara terkait keresahan kita.

Beberapa peserta diskusi yang saya tidak tahu namanya turut memberikan bumbu saat diskusi. Mereka menuturkan pemilu nanti adalah kesempatan mahasiswa untuk bergerak. Kalau golput jadinya bukan mahasiswa pergerakan. Peserta selanjutnya menawarkan solusi agar mahasiswa memanfaatkan data yang dipunyai KPU. Berlanjut ke peserta diskusi selanjutnya, ia melihat bagaimana proses watak negara dari zaman dulu hingga kekinian. Kita sebagai mahasiswa harus cerdas dalam melihat masalah ini.

Tak terasa diskusi sudah beranjak ke pengujung acara. Masing-masing organ pergerakan pun diberi kesempatan memberikan last statement oleh Eko Prasetyo, dan tak ketinggalan pula "faksi" dari pengunjung.

Diawali oleh BEM Fisip, ia menyarakan agar kawan-kawan pergerakan tidak hanya mentok pada diskusi ini. Mesti ada tindaklanjutnya setelah ini. Diakhir, mereka mengutip ucapan Pramodya Ananta Toer yang berbunyi bahwa kita harus adil sejak dalam pikiran.

Selanjutnya SOPINK, mereka mengakui saat ini memang belum ada gerakan nyata. Tapi menurut mereka, gerakan selanjutnya adalah bagaimana kita menyatukan beberapa pandangan yang berbeda.

HMI DIPO berharap kepada mahasiswa agar jangan pesimis. Mari kita sama-sama membangun perubahan.

Sementara itu, pihak Pembebasan mengaku kalau sudah menyebar kuisoner. Mereka berpesan, agar kawan-kawan mahasiswa menentukan sikap mau dari bawah ke atas, atau atas ke bawah.

Tugas kita adalah bagaimana menyadarkan masyarakat yang tidak tahu. Itulah pernyataan terakhir dari pihak IMM.

HMI MPO menyatakan mahasiswa tetap pada controling ketika pemilu. Dan bagaimana mahasiswa menjaga agar pemilu tetap pada asa yang ada. Terakhir mereka mengutip firman Allah yang berbunyi, Allah tidak akan mengubah nasib kaumnya jika kaum itu tidak berusaha merubah dengan sendirinya.

Singkat, Sekber menegaskan tidak menolak pemilu dan terkait hal ini mereka menindaklanjuti dengan aksi penyadaran massa.

Giliran terakhir, Kammi, mereka menyatakan akan berpartisipasi dan mengawal pemilu. Kita akan memberikan edukasi kepada masyarakat agar jangan buta terhadap politik. Karena menurut seorang penyanyi asal Jerman, buta yang terburuk adalah buta politik,

Peserta pun tidak ingin ketinggalan, mereka mempertegas sepakat dengan pemilu tapi tidak sepakat dengan figur-figur yang ada.

Diakhir diskusi, Eko Prasetyo mengapresiasi atas acara yang diselenggarakan oleh BEM Fisip. "Kampus ini membangkitkan kesadaran mahasiswa akan politik. Kampus luar biasa," tukas Eko. Ia berharap setelah ini akan ada acara serupa di kampus-kampus lainnya.

Mahasiswa Harus Berpikir Jangka Panjang

Izinkan saya sebagai penulis untuk ikut mengumbar opini atas diskusi di atas. Memang sebagai pemilih saat pemilu 2014 nanti kita dalam posisi yang menurut saya dilematis. Disatu sisi kita harus memberikan hak suara saat pemilu nanti sebagai konsekuensi menjadi warga negara di negeri demokrasi, tapi di sisi lain dengan kenyataan yang menyalonkan sebagai caleg ada beberapa orang yang kurang kompeten, haruskah kita tetap memberikan hak pilih kita? 

Menurut hemat penulis, sebagai mahasiswa harusnya kita tetap memberikan hak suara saat pemilu nanti. Terlepas dengan kenyataan banyak "setan-setan" yang terpampang di surat suara nanti, tapi paling tidak dengan ikut serta kita dapat menghalaunya. Karena proses demokrasi itu tidak bisa ditunaikan dengan benar dalam waktu singkat. Perlu suatu "try and error" di setiap prosesnnya. Itu pandangan jangka pendek saya untuk pemilu yang ada di Indonesia.

Sedangkan untuk jangka panjang, selepas pemilu 2014 nanti, mahasiswa harus bersatu padu untuk memantik opini publik dalam mempersiapkan calon-calon baik untuk legislatif maupun presiden. Jangan kesannya kita latah, pemilu sudah di depan mata, tapi kita baru ramai dalam membicarakannya. Mahasiswa itu orang intelektual, setiap pergerakan dan perubahan itu harus ada konsep yang jelas agar tidak terkesan pragmatis. 

KM UII sendiri harusnya dari sekarang sudah mengajak mahasiswa untuk mulai konsen memikirkan pemilu. Paling tidak diadakan semacam diskusi kecil. Untuk UII sendiri tahun 2014 memang benar-benar sebagai tahun politik. Dari pilrek, pemilu, hingga pemilwa pun semua hadir di tahun ini. Nah, apakah UII mampu menyikapi tahun politik ini dengan benar? Mari kita simak bersama-sama kawan.

Semoga tulisan ini bermanfaat. Jika ada salah dalam pengutipan kata atau penulisan, harap maklum. Tabik!


No comments:

Post a Comment