Monday 14 March 2016

Ber-Literasi dengan Ber-Kontekstualisasi

Minggu siang kemarin saya menghadiri acara yang bertajuk "Mahasiswa Melek Media" yang diinisiasi oleh kawan-kawan Forum Komunikasi Pers Mahasiswa (FKPM) UII. Suatu perkumpulan yang beranggotakan persma-persma yang ada di UII. Acara ini bertujuan untuk mengajak mahasiswa agar lebih cerdas melihat dinamika media dewasa ini. Kemajuan teknologi sekarang ini menimbulkan potensi informasi dapat beredar dengan bebas dan cepat, sehingga memicu tersebarnya informasi yang kurang akurat. Comot sana comot sini tanpa diverifikasi terlebih dahulu kebenarannya.

Di atas kertas mahasiswa sebagai kaum yang hidup di dunia intelektual mesti memahami dinamika di atas. Di dunia intelelektual kita diharuskan berpikir terbuka, perbanyak riset, mengkomunikasikan pemikiran kita, hingga mengemasnya sebagai sebuah karya. Saya pikir hal-hal seperti ini sudah jamak dibicarakan di berbagai kesempatan, hingga kesannya malah sesuatu yang klise. Bagus secara teori, tapi minim yang mempraktekkan. Kenapa hal itu terjadi?

Yang menarik dari diskusi kemarin yakni ketika Yusdani, dosen FIAI yang juga Direktur Pusat Studi Islam (PSI) UII melontarkan kritiknya terhadap persma sekarang ini. Sebagai contoh, ia mengkritik kenapa LPM HIMMAH UII di majalah mereka mengeluarkan tema tentang Kesehatan Jiwa? Apakah tema itu relevan sesuai permasalahan yang masyarakat saat ini? Kira-kira seperti itu sepenangkapan saya. Intinya Yusdani mengkritik bahwa persma di UII atau pegiat media di UII mesti mempunyai analisis kritis yang mengakar dalam melihat kondisi masyarakat. Jangan terperangkap pada realita permukaan saja, tapi lihatlah sampai ke akar permasalahannya. Kebetulan LPM HIMMAH UII yang ia kritik tempat saya "kuliah" selama ini, dan majalah itu digarap ketika saya menjadi pemimpin umum. Saya tidak akan menjelaskan kenapa HIMMAH mengangkat itu, karena nanti tulisan ini hanya jadi ajang klarifikasi saja jadinya. Menurut saya ada yang lebih mengakar yang lebih penting kita bicarakan daripada itu. Yakni, apakah dengan kondisi akademik di kampus sekarang mampu memicu mahasiswa menciptakan analisis kritis secara mengakar? Apakah perangkat akademik yang lain seperti dosen-dosen sekarang ini mampu mempunyai andil terjadinya kondisi seperti itu, yang mana memang menciptakan kultur akademik yang komunikatif terhadap mahasiswa? Dan apakah perihal kritik yang mengakar memang menjadi tanggungjawab mahasiswa saja?

Selama hampir 4,5 tahun berkecimpung di dunia aktivis mahasiswa, saya sering dihadapkan pada pembandingan kapasitas aktivisme mahasiswa sekarang dengan mahasiswa sebelumnya. Secara semangat dan idealisme memang itu hal yang sangat memompa adrenalin untuk beraktivisme. Tapi ketika itu tidak dilakukan kontekstualisasi dengan kondisi dinamika sekarang maka itu hanya menjadi jargon belaka. Nostalgia masa lalu. Artinya, kita perlu merumuskan konsep aktivisme baru yang dipahami dan diterapkan sesuai keadaan sekarang.

Kaitannya di sini dengan kemampuan mahasiswa, khususnya UII dalam merumuskan pola pemikiran kritis yang inovatif. Ketika mahasiswa dihadapkan pada kelas kuliah yang tidak komunikatif, dosen yang marah ketika disangkal oleh mahasiswa, ruang diskusi yang minim, apakah adil kita mengatakan mahasiswa saja yang harus berubah? Coba ketika pertanyaan dibalik, bagaimana dengan kompetensi dosen ketika mengajar di kelas, apakah mereka sudah memberikan ruang dialog? Apakah dosen mendengarkan pendapat mahasiswa, jika ada yang melontarkan pembelaan mereka terhadap Syiah, Ahmadiyah, dan LGBT?

Kondisi kelas yang komunikatif inilah yang menurut saya menjadi yang pertama ditekankan jika kita ingin melihat pemikiran kritis yang mengakar dari masyarakat kampus. Tidak hanya dari mahasiswa saja, tapi juga dari dosen. Ruang komunikasi yang menerapkan Kontekstualisasi Pengetahuan. Membawa permasalahan yang terjadi di negara atau masyarakat yang nanti dibenturkan dengan konsepsi teoritis sesuuai konsen studi masing-masing. Di titik ini kita akan berusaha membawa ilmu pengetahuan untuk berpihak kepada masyarakat.

Selain berupa kelas akademik yang komunikatif, Kontekstualisasi Pengetahuan juga harus diterapkan dalam ranah lembaga mahasiswa. Jika sebelumnya saya menulis posisi persma sebagai ruang Kontekstualisasi Pengetahuan, kini tanggungjawab itu juga mestinya turut diterapkan oleh organisasi gerakan mahasiswa lain. Entah itu kelompok diskusi, organ ekstra, organ intra, dan lain sebagainya. Selama ini kita terlalu membedakan apa itu ranah organisasi gerakan dengan ranah akademik perkuliahan. Sehingga ada dampak jika kedua hal ini tidaklah sama. Padahal menurut saya kedua hal ini sangatlah berintegrasi. Saya memaknai setiap gerakan pada dasarnya harus berdasarkan keilmuan teori yang kuat, apapun disiplin ilmu itu. Dari disiplin ilmu itu akan ada sebuah idealita, ketika idealita sudah didapat, kita benturkan dengan realita. Di posisi ini kita jadi bisa melihat, ketika realita tidak sesuai idealita berarti ada sebuah masalah. Dan oleh karena itu, kita buat gerakan untuk mengkritik, bergerak sesuai wacana dari idealita. Komunikasi antar konsen studi inilah yang mesti terjadi di dunia gerakan mahasiswa. Sehingga pada dasarnya seorang aktivis harus kuat secara akademik. Karena dari mahasiswa seperti inilah akan terlahir intelektual yang berpihak kepada masyarakat. Digembleng secara teori di kelas, dan melakukan kontekstualisasi di organisasi gerakan mahasiswa. Tentunya kita tidak ingin kejadian akademisi lebih berpihak kepada korporasi daripada kepada rakyat yang sempat ramai dulu terjadi di masa depan.

FKPM UII menyelenggarakan acara bertajuk Mahasiswa Melek Media di Auditorium FTSP UII (06/03). (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Selain hal di atas, momentum diskusi Minggu siang kemarin menjadi sejarah baru di dunia pers mahasiswa UII. Di era persma Fakultas dan Universitas tidak ada garis struktural, setahu saya baru pertama persma di UII membuat acara bersama dan dengan perspektif ideologis yang sama. Jika kerekatan ini dapat bertahan, FKPM UII mempunyai potensi menjadi wadah komunikasi antar elemen di UII. Tentunya melalui medianya masing-masing. Karena salah satu wujud komunikasi intelektual di UII ini lemah bisa dilihat produktivitas karya antar elemen yang kurang. Harapannya ketika ada isu, atau ingin menginisiasi suatu perspektif dan gerakan mulailah melalui media agar masyarakat secara keseluruhan lebih memahami. Menjadi dinamika menarik ketika ada mahasiswa dari lapisan A melontarkan opini di media persma, setelah itu ditanggapi oleh dosen jurusan B, dan ditanggapi oleh mahasiswa C. Itu saya pikir puncak dari suatu literasi media. Tidak hanya memahami mana informasi yang bermutu, tapi turut menggunakan media sebagai sarana intelektual.[]

No comments:

Post a Comment